Chapter 8 : Kembalinya Rafa

20.3K 2.7K 150
                                    

       

Chapter 8

"Gea, sarapan dulu!" suara Bunda melengking memenuhi isi rumah.

"Bunnn, aku bentar lagi telat!" seruku sambil memasang sepatu converseku dengan gerakan cepat.

"Bawa roti aja kalau gitu," sahut Bunda dengan nada lebih pelan karena beliau memilih untuk mendekatiku, bukannya berkomunikasi dengan jarak cukup jauh sehingga mengharuskan kami untuk saling berteriak.

"Emang ada roti, Bun?" tanyaku tak yakin. Setahuku rumah ini tidak pernah punya stok roti kemasan yang bisa langsung dicomot, dimasukkin tas, dan bisa dimakan pas di sekolah.

"Maksud Bunda, ntar mampir dulu ke minimarket atau kantin sekolah kamu gitu buat beli roti dan makan di kelas," jawab Bunda.

Yaelah. Sama aja mau bikin aku telat itu!

"Oke Bun, ntar aku ke kantin sekolah aja langsung," Aku memilih untuk tidak memperpanjang urusan mengenai roti atau sarapanku itu. Jam telah menunjukkan pukul 06.45. Lima belas menit lagi masuk. Fyi, waktu yang diperlukan untuk menempuh sekolahku dari rumah paling cepat 10 menit, kalau tidak macet. Nah, di jam-jam "sibuk" begini, mustahil bisa terhindar dari kemacetan. Bisa-bisa aku sampai ke sekolah jam tujuh lewat. Bisa habis riwayatku.

"Wajar sih bisa telat. Lain kali kalau mau catok rambut, bangunnya lebih pagi, Ge," ucap Kak Adri yang tiba-tiba nimbrung di antara aku dan Bunda. Kak Adri terlihat bersiap untuk kuliah.

Aku tersentak malu mendengar apa yang dikatakan Kak Adri. Kulirik Bunda, beliau tampak senyum-senyum sendiri seraya mengamati rambutku.

Ah sial! Ini gara-gara aku belum terbiasa dengan potongan rambut baruku ini.

Jadi, kemarin, sesuai yang kukatakan, aku potong rambut pendek sebahu. Bagus sih, tidak terlalu aneh untuk mukaku. Aku juga merasa lebih fresh, kepalaku rasanya jadi lebih enteng. Namun baru kusadari bahwa punya rambut pendek itu cukup merepotkan. Aku harus menghadapi masalah dimana rambutku melentik ke arah luar, bukannya ke dalam, oleh sebab itu, aku harus mencatoknya terlebih dahulu agar penampilanku lebih oke.

Kak Adri tertawa penuh kemenangan melihat semburat merah di mukaku dan ekspresiku yang salah tingkah abis. Mengabaikannya, aku langsung pamit untuk segera pergi ke sekolah.

Perkiraanku betul. Jalanan macet. Namun untunglah, aku bisa sampai di sekolah sebelum pagar yang dijaga Pak Halim ditutup. Tepat saat itu, bel berdering, aku berlarian melintasi koridor menuju kelasku. Berharap aku bisa lebih dulu sampai dibanding Pak Lukman, guru kimiaku yang mengajar jam pertama hari ini.

Aku menghela napas lega ketika sampai ambang pintu kelas dan melengok ke dalamnya. Pak Lukman belum masuk. Aku berjalan memasukki kelasku yang tampak ramai.

"Lho, siapa, ya? Salah masuk kelas?" suara Akbar langsung mendominasi kelas. Teman-teman yang tadinya sedang sibuk sendiri, menatapku aneh.

"Apasih? Nggak pernah liat orang telat, ya?" Aku mencibir seraya menjatuhkan tasku di atas meja.

"Bukannya nggak pernah liat orang telat, tapi nggak pernah lihat Gea rambutnya jadi pendek!" celetuk Lana yang sukses mengagetkanku. Refleks, aku memegang rambutku lalu nyengir canggung.

"Kompakan nih potong rambutnya, barengan Lana, pasti, ya?" kata Widya.

Lana memang potong rambut juga. Modelnya nyaris sama sih, tapi Lana sedikit lebih pendek, beberapa centi di atas bahu.

"Tahu aja looo."

Lalu kemudian, teman-temanku kembali berkutat pada kesibukkannya. Topik mengenai aku potong rambut, sepertinya sudah usai...

Just a Friend to You Where stories live. Discover now