2. Menentukan Pilihan

3.3K 343 30
                                    

Jasad Kulina sudah dibawa pergi pihak berkepentingan. Tapi tragedi itu masih saja berputar di benak Liora.

Kepala retak tergolek mengenaskan dengan genangan darah, tangan kanan terkulai terjulur ke atas, sedangkan tangan kiri terguling ke bawah bagian pinggang. Kaki kanan tertekuk empat puluh lima derajat, sedangkan kaki kiri menekuk dua ratus tujuh puluh derajat.

Ia bahkan bisa melisankan ulang suara-suara dari petugas kepolisian. Menguping pembicaraan memang tidak baik. Tapi perihal baik atau tidak, bukan lagi masalah untuk sekarang. Apalagi namanya terbawa perkara. Ia diwawancarai dengan emosi meluap-luap oleh guru dan berganti dengan nada hati-hati oleh polisi. Sampai akhirnya guru BK memberinya nasihat tentang kesehatan mental.
Kepalanya terasa pusing tapi tubuhnya menolak rubuh.
Liora tidak ingin terlihat lemah. Mungkin mentalnya sedikit goyah, tapi tidak gila. Bahkan untuk membunuh teman sekolah.

"Sekolah diliburkan untuk tiga hari ke depan," kata Lizzy saat sahabatnya datang menghampiri.
Itu bisa saja menjadi berita yang menggembirakan jika saja tidak ada masalah.

Liora gontai berjalan. Ia bahkan membiarkan Lizzy bercerita hal menyenangkan.

"Hanya tiga hari. Karena sekolah kita sudah mendapat jadwal ujian semester dua. Tidak mungkin ditunda karena insiden ini. Wah, kalau dipikir-pikir, hidup kejam juga. Life must goes on, right?" sambung Lizzy penuh makna di kata terakhir.

Liora mengangguk ogah-ogahan. Tangannya merogoh saku, mengeluarkan kunci motor. Jika biasanya, ia akan terkesiap menyalakan motor, kini tampangnya masam.
Bagaimana bisa ia dituduh untuk hal yang tidak pernah dilakukan? Pada dini hari, Liora cukup sadar diri bahwa ia sedang berada di sekolah. Membacakan cerita-cerita horor. Lalu, bunyi denting piano. Bukan sesuatu yang layak diperhatikan. Lantas hawa mendadak suram, bulu kuduk meremang, suara benda terbentur sangat keras dan mati lampu beberapa saat. Tapi kemudian menyala lagi. Tidak ada hal ganjil.

"Liora, gue percaya lo bukan pelakunya!" Suara Lizzy terdengar jenuh.
Liora menyalakan kontak motor dan membiarkannya beberapa saat. Akal sehatnya untuk memanaskan mesin bahkan bisa terpakai di saat-saat seperti ini.

"Tapi cuma lo doang yang percaya! Itu masalahnya," sahut Liora dengan nada tinggi. Ia tidak bermaksud berteriak tapi intonasi itu meluncur mulus tanpa bisa dicegah.

Lizzy menepuk kening. "Kalau lo yakin enggak salah, ya harusnya lo enggak perlu resah begini."

"Oh jadi menurut lo, gue bisa bersantai-santai dan bertingkah kayak enggak terjadi apa-apa? Oh, ya, setelah pulang sekolah, kita selalu ngecek CD Platinum di toko musik di perempatan lampu merah. Karena band Platinum sedang naik daun dan kita bisa membicarakannya selama berjam-jam. Terus pulang dan makan. Begitu?"

"Lo salah mengartikan," bantah Lizzy.
Liora tak menjawab. Terlalu senewen dengan masalah Kulina. Lalu dengan mudahnya, melimpahkan emosi pada Lizzy seakan dalangnya. Tidak adil untuk cewek itu. Jadi, Liora memutuskan untuk naik motor, menyuruh sahabatnya duduk diboncengan.
Mengantarkan Lizzy pulang ke rumah dengan aksi bisu. Lebih baik, dibanding berdebat yang kata-kata yang akan disesali mereka berdua pada akhirnya. Lantas menjalankan motornya lagi untuk pulang ke rumah.

Rasa frustrasinya tak terbendung saat di kamar. Liora memutar lagu Before We Go dari band Platinum dengan volume keras.
Di dapur, ibu nyaris terjengkang saat mendengarnya. Sementara Liora meringkuk di lantai, bersandar tempat tidur.
Dan dibalik lagu yang berputar, cewek itu menangis.

Kata seandainya meliuk-liuk di pikirannya.
Seandainya ia tak siaran radio.
Seandainya ia mengecek suara memilukan itu.
Seandainya ia ...

Liora semakin membenamkan muka ke tangan yang melipat. Terlalu malu menjelaskan pada orangtua. Tapi tidak bercerita sama saja menanam penyakit di lubung virus.
Ini bukan salahnya, batin Liora menyakinkan diri.
Siapa yang tahu ada orang akan meninggal saat malam, bertepatan dengan siaran radionya pula?
Tidak ada satu pun.

Sekolah libur tiga hari. Tadi saja langsung pulang cepat agar TKP tidak tercemar. Juga memberi ruang untuk polisi mengolah tempat perkara. Surat edaran dicetak dan difotokopi secara cepat karena insiden ini. Eskul siaran radio pun diberhentikan sementara.

"Tidak adil," raung Liora tadi di ruang BK.

Bu Sinta tersenyum simpatik. "Ini yang terbaik untuk kita semua."

Bagian mana dari 'yang terbaik untuk kita semua' yang menguntungkan dirinya?
Siaran radio satu-satunya tempat dia mengekspresikan diri. Mengikuti jejak vokalis band Platinum.
Namun mulutnya justru kontradiksi berkata, "Apa kabar tentang status saya?"

Mendapat status tersangka tidak pernah bagus untuk dimasukkan aplikasi kuliah. Masa depannya bisa hancur berkeping-keping. Disembunyikan pun tetap tak mampu menutupi. Sekali bersalah akan dikenang selamanya. Memikirkan efek domino yang terjadi karena kematian Kulina membuat Liora sinting.
Pilihannya hanya dua. Bersembunyi di lubang dan menghindari tuduhan.
Atau diam-diam beraksi memecahkan teka-teki kematian Kulina.
Memikirkannya saja membuat perut Liora mulas. Namun pilihannya sudah ditetapkan keesokan hari ketika ia terbangun dari tidurnya.

DENTINGUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum