19b. Penulis Surat Misterius?

553 87 35
                                    

"Pensi Matahari akan menjadi acara puncak sekolah kita sebelum liburan akhir semester ini. Gue harap kalian bisa bekerja keras untuk bantu mempersiapkan Pensi kali ini, dan juga...."

Yara sama sekali tidak menaruh fokus pada rancangan dasar acara yang dipaparkan oleh ketua OSIS. Ia malah memandang Viola lekat, sambil terus menerka isi pikiran cewek yang sedang serius mencatat poin-poin penting keputusan rapat.

Cewek itu menguarkan aura dingin, cuek, dan tak bisa ditebak. Orang-orang yang berani mengganggu aliran udara di sekitarnya mungkin bakalan langsung ditinju, ditendang, bahkan mungkin akan di­colok matanya. Pokoknya, Yara yakin tak ada yang berani berurusan dengan Viola yang kondisi moodnya sedang buruk seperti sekarang. Kecuali Yara sendiri, yang dengan mantap menyambangi kedudukan Viola saat para pengurus OSIS mulai berhamburan tanda selesainya rapat. Selain cukup per­caya diri dengan kemampuan parasnya, Yara juga yakin sepertinya Viola tidak pernah menyakiti cowok. Targetnya selama ini hanya Kulina.

"Lo tau nggak, kalau ngelihatin seseorang lebih dari tiga puluh detik itu nggak sopan?" tanya Viola begitu Yara meletakkan pantat­ di bangku di seberangnya.

"Wah!" Yara terperangah. Jujur saja, Yara sudah tahu sepak terjang Viola yang jutek bin galak, tapi tak pernah ia menyangka akan mendapatkan perlakuan serupa. Biasanya cewek-cewek galak pun akan mendadak lembut kalau ia menyapa. Yara meringis, aksinya memperhatikan Viola ternyata dianggap sebagai gangguan.

"Lo tau nggak, iklan delivery makanan kantin itu bohong­an?" tanyanya mengalihkan topik. "Gue tadi kan sempat tele­pon, tapi katanya salah sambung."

Viola mengernyit dengan ekspresi heran maksimal. Yara kembali melanjutkan.

"Yah, langsung aja gue sebutin nama gue−"

"Pantas aja dibilang salah sambung. Siapa yang mau berurusan dengan lo, cowok narsis garis miring nggak punya duit?" sela Viola sinis.

"Sayang juga ya, padahal efisien juga makan di dalam kelas. Tapi lumayan deh, gue bisa ngirit seribu perak," seringai Yara, saatnya menjatuhkan bom.
"Jadi, kenapa muka lo kusut gitu? Apa mulai banyak yang mengaitkan lo sama kasus anak kelas sepuluh yang meninggal itu?"

Mendengar pertanyaan terakhir itu, mendadak sebuah kecurigaan tebersit di benak Viola. Mereka hanya sebatas kenal di OSIS, bahkan sebelum ini tidak banyak berbincang. Jadi, bagaimana Yara bisa tiba-tiba melontarkan pertanyaan demikian.

"Lo pikir gue pembunuh Kulina?" simpulnya.

"Dia nggak bunuh diri, kan?" Yara menatap penasaran sekaligus kesal pada cewek yang tak tampak merasa bersalah itu. "Tapi lo yang sabotase kasusnya jadi bunuh diri."

Viola mendecih. "Pemikiran lo itu tolol banget," sahutnya ringan. "Emangnya misteri apa yang lo harapkan dari kematian anak miskin itu? Pacar selingkuh, orangtua mendadak pelit, atau kejadian mistis yang mengiringi?"

"Yah, itu semua kan masalah-masalah besar dalam kehidupan kita sebagai remaja," kilah Yara. "Hal-hal begini yang bikin kehidupan kita jadi serasa berantakan. Lagi pula, lo tau sendiri, sekolah kita punya legenda aneh soal insiden-insiden menyeramkan."

"Whatever." Viola mengangkat bahu. "Tapi nggak seharusnya lo berasumsi dan kepo sama urusan orang lain."

"Gue emang kepo banget, soalnya lo punya kecenderungan menyiksa almarhumah Kulina semasa hidup."

"Wah, kalau itu bener juga sih," seringai Viola. "Jadi, lo mau apa? Membeberkannya ke seluruh penjuru SMA Cahaya Selatan, atau lebih memilih diam biar aman?"

DENTINGWhere stories live. Discover now