4. Daftar

2.7K 314 7
                                    

Liora mencuci muka pada wastafel. Benaknya bertanya-tanya. Suara siapa yang merespons isak tangisnya.
Gadis kelas berapa?
Suaranya cempreng dan bernada tajam. Seakan sosok itu menyaksikan drama yang terjadi.
Orang itu saksi. Bisa saja melihat kejadian Kulina yang sebenarnya.

Liora menepis hal tersebut. Tidak mungkin. CCTV hanya merekam Liora dan Kulina di area sekolah. Tidak ada orang lain yang masuk ke sekolah dan melakukan kegiatan.
Tidak ada alasan untuk datang ke sekolah di tengah malam.

Liora mengembuskan napas resah. Mau tak mau, ia harus bertindak sendiri. Tidak ingin informasi bercecaran. Cewek itu keluar kamar mandi dengan terburu-buru sampai bertubrukan dengan Lizzy.

"Gue cariin dari tadi," katanya emosional. "Ternyata dari kamar mandi."

Liora mengangguk mengabaikan.
"Tadi lo lihat siapa yang keluar kamar mandi, nggak?"

"Enggak ada siapa-siapa selain lo yang keluar," sahut Lizzy cepat. "Emang kenapa, sih?"

"Oh, enggak apa-apa. Nanya aja," ujar Liora sambil menggandeng Lizzy kembali ke kelas.
Ia tahu temannya itu masih penasaran. Tapi membuang waktu jika menjelaskan dari awal perkara. Jadi lebih baik membiarkan gadis tersebut bertanya-tanya. Ia akan bercerita nanti, janji Liora dalam hati sambil ke kelas bersama Lizzy.

Pelajaran bahasa Inggris berlalu begitu saja di pikiran Liora. Masuk telinga kanan keluar telinga kiri. Berlanjut di pelajaran Sejarah dan Matematika. Sampai di jam isirahat, konsentrasinya masih saja berserakan entah di mana.
Lizzy berkali-kali bertanya kenapa ia terbengong, tapi Liora enggan menjawab.

Begitu jam istirahat, ia membawa buku catatan dan pulpen. Pergi ke perpustakaan, mencari tempat sepi. Tidak mengajak Lizzy turut berpatisipasi dalam penyelidikannya. Malah berbohong ingin mencari bacaan baru dan membiarkan sahabatnya ke kantin sendirian.

Ketika hendak menulis kejadian demi kejadian otaknya malah tidak bisa diajak kerja sama. Tangannya tidak mau menulis dan selaput abu-abu di otak mendadak kelabu. Tidak ada gambaran apa pun.
Namun benaknya memutar kilas balik saat ia melihat sobekan amplop coklat di meja.
Jauh sebelum tragedi kematian Kulina, ia pernah melihat Kulina bertengkar dengan Viola. Koreksi. Bukan bertengkar. Tapi Viola adu mulut dengan almahurm. Cewek populer itu mengabsen isi margasatwa. Lalu menyebut Kulina sebagai slut.

Gadis pendiam itu tidak terima, lalu membalas kalimat yang sama tajamnya. Pertengkaran pun terjadi.
Tanpa melihat sampai akhir, Liora yakin pemenangnya Viola. Karena bukan satu lawan satu. Tapi lima lawan satu. Genk Viola juga membantu mengejek. Sesekali mendorong bahu Kulina sampai cewek itu meringis. Tubuhnya sempat membentur kaca di dekat wastafel.

Liora mengusap muka frustrasi. Bodohnya tidak melerai. Malah buru-buru keluar toilet dan lebih mengurus siaran kedua. Mengutamakan eksistensi diri di sekolah dibanding menolong. Ia menempelkan kening ke meja. Nasi sudah menjadi bubur.
Setelah proposal pengajuan ekskul disetujui dan siaran pertama disukai semua orang, Liora yakin bisa meningkatkan kualitas penyiar di sekolah. Jadi begitu ada kesempatan untuk mengurus siaran kedua, ia begitu bersemangat.
Tapi tak ia sangka akan mengabaikan seseorang yang berada dalam tumpukan masalah serius.

Seandainya waktu bisa diulang. Liora yakin bisa membantu Kulina terlepas dari masalah.
Terutama binar keteguhan dari matanya saat melihat Liora sekilas. Permohonan bantuan yang baru ia sadari sekarang.

Ke mana ia kemarin?

Ah. Liora mengembuskan napas. Belum ada keputusan dari pihak sekolah soal siapa pelakunya. Masalah terlalu ditutup-tutupi karena tidak ingin mencoreng kredibilitas.
Bahkan sekolah tidak perlu repot-repot menutupi kematian Kulina. Nasib menjadi siswi underground.

Mungkin cerita akan berbeda jika yang meninggal anak pemilik jabatan. Atau murid populer yang selalu dicari-cari. Berita pasti menyebar luas serupa wabah penyakit.

Dan kini ia bertanya-tanya.
Apakah orangtuanya akan terus mencari anak perempuan mereka satu-satunya?
Atas kebohongan berita bahwa Kulina tidak pernah pergi sekolah dan tidak pernah datang ke sekolah. Lalu orangtuanya menduga-duga kenapa anak perempuannya yang polos, baik hati dan lugu bisa tidak pulang ke rumah.

Sementara orang-orang mulai melupakan kejadian itu. Seakan semua berjalan baik-baik saja. Liora tidak bisa seperti itu terus. Tidak mungkin hidup dalam bayang-bayangan kematian seseorang.
Dan saat itu otaknya memilah informasi demi informasi.
Sebelum berserakan kembali, tangannya mengambil pulpen dan mulai menuliskan catatan. Mendaftar beberapa kegiatan yang berhubungan dengan Kulina.

1. Sebelum meninggal Kulina sempat adu mulut dengan Viola dan genknya. Tidak jelas adu mulut masalah apa.
Ia masih mencari tahu.

2. Sebelum meninggal. Denting piano terjadi. Mati lampu kurang dari 3 menit. Butuh waktu 2 menit untuk menghidupkan seluruh daya di sekolah jika dimatikan lewat skring utama.

3. Mayat Kulina diduga di dorong oleh seseorang dari lantai 3. Terlihat dari posisi jatuh. Masih hipotesis polisi. Ia belum mendengar pernyataan dari tim forensik. Saat tim forensik datang, Liora sedang di ruang kepala sekolah.

4. Viola dan genknya tampak senang atas kematian Kulina.

5. Seseorang menyahut "Jangan bersikap seolah-olah lo pelakunya. Kalau memang nggak salah, buktiin!" di toilet perempuan saat Liora dan Viola membahas Kulina. Kemungkinan besar orang itu tahu. Tapi masih prasangka.

Liora membaca informasi yang ia tulis. Terlalu dini menyimpulkan Viola pelakunya. Cewek itu terlalu kekanakan dan bodoh untuk melakukan aksi nekat.
Namun cewek itu tidak boleh diragukan dan dilepaskan dari daftar tersangka.
Seseorang pasti merencanakan dengan detail. Karena gerakannya sulit dibaca.

Tapi siapa orang itu?

DENTINGWhere stories live. Discover now