10. Bisikan

2.4K 284 24
                                    


Kalimat Aldo terngiang-ngiang bagai nyamuk di dekat telinga. Meski Liora sudah melakukan rutinitas bertanggung jawab lainnya. Mengerjakan tugas, duduk di kelas mendengar penjelasan guru, berbicara bersama Lizzy, mengobrol dengan teman sekelas lainnya, hingga akhirnya pulang sekolah. Tetap saja kata-kata Aldo berdengung di telinga.

Lizzy sesekali bertanya perihal kondisi dan gerakan tak nyaman. Tapi Liora hanya menjawab tidak ada apa-apa. Disambut anggukan oleh sahabatnya itu. Begitu jam pelajaran berakhir, Liora menyuruh Lizzy pulang duluan.
Awalnya cewek tersebut protes sebelum akhirnya pamit juga.

Di sinilah Liora sekarang. Ruang musik yang sengaja pintunya ia buka setengah. Supaya penjaga sekolah tidak menguncinya dari luar. Pernah Liora masuk ke ruangan musik untuk bermain piano saat pertama kali masuk sekolah menengah. Ia menutup rapat pintu. Lantas kesulitan saat ingin keluar.
Ternyata penjaga sekolah mengunci pintu dari luar, tidak sempat memastikan ruangan dan mengira pintu yang tertutup berarti ruangan kosong.
Untung penjaga sekolah sedang mengepel lantai depan ruang musik dan mendengar gedoran anarki Liora. Sejak saat itu, tiap kali bertemu penjaga sekolah, rasa malu masih menyelimutinya.
Liora berhadapan dengan piano akustik yang cat coklatnya mulai pudar.
Ada bekas gigitan tikus di sisinya.

Di rumah-tepatnya ruang kerja Mama, ada grand piano. Ukurannya yang besar memakan banyak tempat, tak heran jika ruang kerja beliau luas. Liora ingat dulu saat berumur sepuluh tahun pernah diajarkan bermain piano oleh Mama. Tangannya yang lihai selalu membuat Liora minder. Mama bilang itu latihan berkali-kali. Liora tersenyum. Dalam hati bangga memiliki Mama seorang pianis.
Kalau sedang merasa gelisah, Liora bermain piano. Seperti sekarang. Pikirannya kacau. Diusik banyak pihak. Didesak. Merunut segala permasalah hanya menambah rasa tertekan.
Liora menggerak-gerakkan jemarinya. Menekan beberapa tuts. Awalnya kaku dan tersendat. Sesekali menghasilkan nada sumbang. Hingga mulai cepat beradaptasi.
Band Platinum sempat mengeluarkan album versi piano. Dan itu benar-benar membantu Liora mengenal nada. Before We Go juga sempat dibuat versi pianonya.
Tanpa sadar, Liora tersenyum sendiri. Pengin rasanya menyaksikan konser mereka.
Be a Girl.

Liora memainkan piano itu sepenuh hati. Nada rendah dan mengalun lambat di awal. Mulai naik setengah nada, hingga perlahan naik secara bertempo. Jemarinya cepat bergerak berpindah kanan. Tertawa saat salah menekan. Tidak ada yang mendengar. Tersenyum saat berhasil improvisasi dengan variasi sesuka hati seperti ajaran Mama.
Liora merasa kuat sekaligus lega. Seakan himpitan beban baru saja sedikit meluruh dari dinding beton dalam dirinya. Merasa bahagia karena tindakannya tepat dengan datang ke ruang musik. Keutuhan suara tidak terganggu karena ruangan luas dan tidak banyak perlengkapan.

"Liora," bisik seseorang. Suara cewek karena nadanya nyaring dan melengking.
Liora menghentikan permainan piano.
Pasang telinga. Seolah bisikan itu terpantul-pantul dalam ruangan.
Namun wujudnya tidak Liora temukan. Matanya nyalang mengedarkan pandangan ke sekeliling. Kalau ada yang berusaha mengerjainya dan membuat gemetar, Liora akan mengucapkan selamat untuk orang itu.
Tapi tidak ada siapa pun. Suara siapa itu?
Suara tersebut terdengar tidak asing. Bulu kuduk Liora meremang. Firasatnya mengatakan itu teror Kulina. Hati menggedor menyuruh berlari. Sedangkan akal memintanya bertahan, berpendapat bahwa ia ada kesempatan untuk berkomunikasi dengan arwah Kulina.
Siapa yang menjamin itu Kulina?
Siapa yang bisa menyampaikan fakta kalau sosok itu baik, ramah dan tidak akan menakutinya? Dua pertanyaan tak terjawab itu berhasil membuat Liora angkat kaki dari ruang musik. Mencangklongkan tas ke bahu dan lari.

Suara adzan magrib berkumandang, Liora mengayun kaki frustrasi. Pantas saja hantu mulai keluar, rutuknya menyesal. Matanya sempat melihat penjaga sekolah melempar senyum. Namun langkah kaki Liora sudah kalut. Alih-alih menyapa balik.
Lewat satu menit dari pukul tujuh, Liora sampai rumah. Mendapat amukan langsung dari Mama.
Disusul kemarahan Papa yang selesai mandi. Beralasan sepeda dibawa Lizzy kebengkel justru menambah kemarahan orangtuanya. Sebab Lizzy sudah bilang kalau Liora akan telat pulang dan sepedanya dibawa Lizzy. Harusnya mereka berunding untuk melakukan penipuan.
Sesudah selesai dimarahi, akhirnya Liora boleh ke kamar untuk bersih-bersih. Ia langsung melesat pergi dan membersihkan diri.

DENTINGWhere stories live. Discover now