12. Rencana Kelam

2.3K 237 4
                                    

Hai, kita ketemu lagi 😄
Baca sampai habis untuk pengumuman Giveaway. Jangan lupa tinggalkan vote dan komentar untuk mempercepat bab 13 update.

“Jangan senyum-senyum dulu. Gue ngasih pinjam buku ini bukan karena omongan lo bener. Tapi gue cuma pengin tahu aja seberapa berani diri lo.”

Aldo mendecak. Dasar cewek. Cewek mau usia berapa saja selalu melangitkan gengsi, membumikan rasa mengalah. Tapi itu tidak lagi penting. Permasalahannya sekarang, mendapatkan buku itu dan mengetahui lebih banyak. Memikirkan hal tersebut membuat bibir cowok itu melengkung kesenangan.

Ia ingin menjawab langsung. “Semakin ditantang, cowok akan semakin berani. Itu lah harga diri cowok agar terlihat lebih superior dibanding kaum hawa.”
Namun kalimat yang meluncur justru kontradiksi. “Oke, Liora.”

Cewek itu merenggut, jelas kesal karena reaksi praktis tersebut.
Aldo cukup sadar dengan sekali melihat mikro ekspresi Liora.
Kening bertaut, menggigit bibir, lekuk pada pipi dan senyum palsu.
Tapi siapa sih yang tadi mulai menantang?

Buku itu berpindah tangan. Tanpa keduanya sadari bahwa tanggung jawab juga ikut dilimpahkan.
Liora pergi sambil menghentakkan kaki.
Aldo mengamati punggung cewek berambut pendek tersebut menjauh, lantas menyelipkan Dark Game ke dalam map.
Sisi depan belakang map sudah dia berikan sampul. Hasil memanfaatkan lembar ulangan beberapa minggu lalu. Setelah yakin cara tersebut mampu menutupi buku itu, Aldo menarik resletingnya.

Menjorok di pojok kanan lantai dua, lorong yang sering diabaikan karena hanya bagian bobrok yang tak terurus.
Terdapat bangku yang kakinya patah, senderan kursi yang tidak ada, meja lapuk, buntungan kayu uzur dan armrest bangku yang terpotong.
Beberapa keramik pecah dan tercongkel memperlihatkan semen dibaliknya.
Bukan lokasi layak.
Tapi tempat yang aman untuk mengadakan pertemuan dengan Liora.
Tidak ada yang tertarik melongok ke sudut lantai dua. Bahkan cendrung enggan. Beruntung janji terealisasikan, setelah sempat melewati perdebatan.

“Jangan di belakang halaman sekolah,” kata Liora di telepon saat malam hari.

Aldo mengerutkan kening. “Kenapa? Tadi katanya terserah di mana aja. Giliran gue tentuin malah ditolak.

“Iya. Tapi kalau ada orang dari bagian selatan di lantai tiga yang melongok, kan bisa kelihatan,” sambarnya senewen.

“Di kamar mandi lantai dua. Kan kamar mandinya beda sendiri dibanding lantai lain. Toilet cewek dan cowok satu ruangan dengan dua lorong. Cewek ke lorong kiri sedangkan cowok ke lorong kanan.
Pembatasnya cuma dipisah pagar. Ntar lo kasih bukunya lewat selipan jeruji pagar,” sahut Aldo.

“Seperti transaksi kejahatan.”

“Memang kelihatannya kita melakukan kebaikan?”

Liora mendesah.
“Ketemu di lantai dua, pojokan yang banyak perabotan. Jam 6 teng! Telat, gue engga kasih bukunya. Oke?”

Ada apa sih dengan para hawa?
Cewek seringnya bilang terserah saat dikasih pilihan. Tapi giliran cowok menentukan, seringnya ditolak.
Ujug-ujug, cowok harus memahami keputusan cewek. Kenapa engga bilang dari awal saja?

Aldo menyemburkan napas. Dari awal, Liora tidak bilang alasannya memberikan buku. Tiba-tiba saja menelpon, meracau untuk bertemu esok pagi di sekolah.
Sebelum merespons, cewek itu mewanti-wanti tidak menerima jenis pertanyaan apa pun.

Who ruin the world? Girl!

Jadi, Aldo tidak bertanya. Hanya menjawab. Rasanya seperti dijajah secara tak langsung.
Sebelum sempat menjawab. Liora menutup telepon duluan.
Aldo sudah tahu itu. Ia mendesah. Nasib. Sekarang yang terpenting, buku sudah berpindah tangan. Ia yakin tidak ada yang memerhatikan.

DENTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang