3. Sebuah Permulaan

3.1K 329 6
                                    

Seorang gadis dengan seragam lusuh dan buku yang sudah tak kalah usang ditangannya datang menghampiri Liora dengan tergesa-gesa.

Liora mengernyit heran saat melihat gadis itu berlari ke arahnya, padahal ia sama sekali tidak merasa mengenal gadis itu. Sesampainya di hadapan Liora, gadis itu tersenyum lebar menampilkan gigi-gigi nya yang rapih, namun itu bukanlah jenis senyum yang ramah. Senyum itu menyiratkan sesuatu yang tidak Liora mengerti, seperti ada dendam yang tersirat disana.

Gadis itu seolah ingin mengatakan sesuatu pada Liora. Saat ia mulai membuka mulutnya pertanda akan dimulainya percakapan...

KRIING! KRIIING ! KRIIING!

Sialnya, Liora terbangun tepat sebelum gadis itu sempat berbicara.

Liora mematikan suara keras jam weaker yang membangunkannya pagi ini. Cahaya pagi menyeruak masuk lewat jendela-jendela kaca.
Ia menggerakkan tubuhnya, lalu menyibak selimut dengan rusuh. Terduduk di atas kasur sembari mengucek-ucek matanya yang masih belum mampu terbuka sempurna.

Ia terdiam sejenak saat membuka mata, tepat saat ia melirik ke arah meja kecil di dekat kasurnya.

Ada setumpuk kertas naskah cerpen horror teman-temannya yang belum sempat ia bacakan saat siaran sejak satu minggu yang lalu.
Ia mengambil beberapa tumpuk kertas itu. Di atasnya ada sebuah kertas kecil yang merupakan sobekan dari kalender buku hariannya, lalu ia menatap lingkaran merah di tanggal 17 Desember 2017.

Catatan kecil tertulis di angka 17 'Beranikan dirimu!' Ia terpaku menatap tulisan itu sembari tersenyum dengan maksud menguatkan tekadnya.

Liora menuruni kasur dan berdiri, matanya yang sudah mulai terbuka lebar menatap kamar yang terasa sunyi. Ruangan besar yang bercatkan hitam dan putih.

Cahaya pagi mulai terlihat dari balik korden-korden merah yang masih tertutup rapat. Dengan pelan Liora menyibak korden yang menutupi cahaya dan pemandangan di balik jendela kaca.

Liora membuka jendela dan menghirup udara pagi. Betapa sejuknya udara di kota kecil ini. Ia beralih dari jendela, menuju kamar mandi.
Namun cermin di tembok sampingnya menghentikan langkah gadis itu. Wajah seorang gadis terpantul disana.

Wajahnya sayu dengan rambut acak-acakan. Matanya yang besar dengan kantung mata gelap, hidung kecil yang mancung dan bibir tipis yang memucat.

Liora sampai tidak mengenali dirinya sendiri. Lalu ia segera beralih dari cermin itu berniat menuju kamar mandi. Baru beberapa langkah ia berbalik saat...

PRAAAAKKK!

Cermin di tembok tiba-tiba terjatuh karena pakunya terlepas. Liora tersentak kaget melihat pecahan cermin yang berserakan mengotori lantai kamarnya.

Ia segera mengambil sapu dan plastik, mengumpulkan serpihannya dengan sapu lalu dengan hati-hati memungut satu demi satu belahan cermin dan memasukkannya ke dalam plastik.

Setelah itu Liora langsung menuju kamar mandi dan menutup pintunya.

Lima belas menit kemudian, Liora keluar dari kamar mandi.
Namun ada hal aneh terlihat di depan matanya. Detakan jantungnya serasa terhenti saat ia melihat cermin yang tadi jelas-jelas jatuh berantakan, masih terpasang seperti sedia kala di tembok.

Liora melihat wajahnya terpantul di sana, namun dengan sorot mata yang berbeda dengan dirinya saat ini. Ia lalu memberanikan diri menyentuh pelan permukaan cermin. Ini sangat mustahil. Kaca itu tadi benar-benar sudah hancur berantakan.

"Apakah akhir-akhir ini kamu mengalami gangguan tidur? Itu bisa saja mempengaruhi kondisi mental kamu, Liora. Mungkin kamu akan berhalusinasi tentang beberapa hal."

Perkataan guru bimbingan konseling tempo hari terngiang-ngiang di telinganya.

Halusinasi?

Liora menatap nanar kaca itu selama beberapa saat.

Ya, mungkin tadi ia hanya berhalusinasi.

"LIORAA!"

Liora hampir saja terjengkang saking terkejutnya mendengar ada yang berteriak memanggilnya disusul dengan bunyi gebrakan keras pintu yang terbuka lebar.

Lizzy menyembulkan kepalanya dari balik pintu kamar Liora dengan senyum merekah yang tampak tanpa dosa telah mengganggu ketenangan Liora di pagi hari, "Selamat pagi. Hari ini kamu sekolah, kan?" tanya Lizzy sambil berjalan masuk dan menutup pintu kamar Liora lagi.

Liora masih terlalu kaget dengan insiden kaca pecah tadi, jadi dia tidak terlalu menghiraukan pertanyaan Lizzy. Ia tahu, tanpa harus di jawab pun Lizzy sudah tahu keputusannya untuk kembali sekolah hari ini.

Sampai jam istirahat kedua Liora masih tenang-tenang saja di sekolah, walaupun semakin banyak siswa yang berbisik-bisik tentangnya. Tanpa harus di jabarkan, kalian tahu apa yang sedang diperbincangkan anak-anak itu.

Liora melangkah ringan ke arah kantin seorang diri karena Lizzy harus mengumpulkan tugas keseniannya sebelum jam ke lima di mulai, tiba-tiba ada yang menyandung kaki nya dengan sengaja sampai ia jatuh bertumpu pada lutut.

"Ups.. Sorry," Orang yang mengganggu Liora barusan adalah Viola, si sekretaris OSIS yang tampangnya seperti barbie jadi-jadian.
"Jadi si penyiar nada kematian udah berani masuk sekolah, nih?"

Liora berdiri, menepuk-nepuk debu di rok nya sebelum berjalan mendekati Viola dan dengan sengaja menabrak bahunya , "Minggir! Menghalangi jalan aja." Sama sekali tidak terpancing emosi, ia sudah mempersiapkan diri untuk hal semacam ini.

Viola hanya mendengus tidak percaya lalu berteriak dengan keras, "MAKASIH YA, LIORA! Berkat lo, gue nggak harus berurusan sama anak kampung yang bau itu lagi."

Liora mengepalkan kedua tangannya, mencoba meredam emosinya dalam-dalam lalu berbalik, "Jaga ya mulut lo itu kalo nggak mau gue robek! Hasil autopsi belum keluar dan nggak ada bukti dari malam itu yang menunjukkan gue ketemu sama Kulina, jadi, jangan bersikap seolah-seolah gue pelakunya!"

"Tapi cuma lo yang ada di sekolah pada saat itu."

"Mana gue tahu juga kalau Kulina ada di sekolah!"


"NGAKU AJA LO, PEMBUNUH!"
Sahut beberapa anak yang mulai mengerubungi Liora dan Viola.

Liora sudah tidak tahan lagi, daripada ia melakukan hal yang bodoh karena amarah di depan anak-anak idot ini ia lebih memilih pergi dari sana menuju sebuah toilet yang jarang di datangi siswa, tepat di pojok belakang gedung kesenian.

BRAKK!

Liora membanting keras pintu toilet dan menangis sejadinya. Ini sama sekali bukan dirinya. Bukan Liora yang selalu kasar dan tangguh. Hal ini sama sekali diluar kemampuannya untuk menyangkal, karena suka tidak suka, ia tetap harus mengakui bahwa semua bukti memang mengarah kepadanya.

Liora tersentak saat mendengar suara keran wastafel di buka, buru-buru ia menghapus air mata dan meredam suara isakannya.

"Jangan bersikap seolah-olah lo pelakunya. Kalau memang nggak salah, buktiin."
Suara keran di tutup itu diiringi dengan suara pintu yang menutup.

Liora menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya. Liora tidak mengenali suara gadis tadi, tapi gadis itu benar. Ia harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Tapi...

Bagaimana caranya?

DENTINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang