8. Kebenaran Gigantisme

2.6K 298 30
                                    

"Kok bisa ada darah di langit kelas X-I, ya?” tanya Noor sambil mengunyah siomay.

Yara terkekeh. “Paling juga cat. Tinggal di oles ke eternit juga selesai. Menetes kalau komponen cat campur air malah lebih banyak air.”

“Mana ada cat berbau amis,” respons Andy langsung sambil menjitak kepala sohibnya. “Lagian cat kalau lama di udara ya keringlah. Ngaco lo, mah. Gosipnya itu hantu Kulina. Meninggalnya aja enggak wajar. Arwahnya jadi enggak tenang. Gentayangan di kelasnya sendiri.”

“Hari gini masih percaya hantu gentayangan?” ejek Yara terbahak. Nyaris tersendak bakso yang sedang di makan.

“Nah! Nyusul Kulina lo dikit lagi. Durhaka sama yang udah meninggal,” ujar Andy tertawa kemenangan.

Yara cemberut. Tidak memberi tanggapan, tapi dalam hati membenarkan dan takut juga.

Aldo yang duduk bersama tiga sahabatnya sama sekali tidak merasa terusik. Pikirannya sedang melayang ke kejadian yang tadi dilihatnya.
Tetesan cairan merah pada eternit. Awalnya ia pikir itu hanya cairan palsu yang bisa dibeli di toko. Tapi saat Viola berlari ke arahnya, cairan itu menguarkan aroma.
Amis dan berbau besi menjadi satu. Ia sudah menceritakan bagian ini ke tiga sahabatnya di kelas sehingga mereka tahu. Informasi lain didapat dari kasak-kusuk temannya.

Ia sedang berjalan di koridor hendak kembali ke kelas ketika suara ribut dari kelas X-I menarik perhatiannya. Beruntung ia datang sebelum para guru jadi tidak ada yang menghalangi pergerakan. Viola berlari bagai orang sinting ke arah pintu melewati dirinya. Menuju toilet. Meracau dan menangis.

Reaksi pertama, tercengang. Kehabisan kata-kata. Darah encer itu menetes perlahan. Entah berasal dari hulu bagian mana. Muaranya jelas ke semua bangku.
Tidak ada satu pun bangku yang luput dari tetesan darah.
Sayang, sebelum sempat menanyakan awal mula perkara, Pak Tono datang. Mengusirnya pula.

“Jangan bilang hal-hal seperti itu,” tegur Noor. “Pokoknya udah di urus Pak Tono. Segala sesuatu yang diurus beliau pasti langsung selesai dengan tenang dan damai.”

“Tapi enggak menampik itu hantu Kulina.” Andy bersikeras. “Secara logika, mana ada darah secair itu tiba-tiba nempel di langit. Tidak ada kebocoran. Atau jika itu akibat adu pertengkaran kucing dengan kucing yang menyebabkan salah satu mati dan berdarah, darahnya juga tidak secair itu. Darah mamalia kan kental.”

“Darah mamalia yang kental berarti jarang minum air mineral,” kata Yara mencoba mengoreksi.
Andy yang merasa Yara sedang melucu langsung memberi tatapan tajam. Dibalas Yara melotot. Sebelum adu mulut lagi, Noor buru-buru menegahi.

“Iya. Benar. Darah binatang tidak akan sampai menembus ke eternit begitu saja,” jelas Noor mencoba tidak membela pihak mana pun.
Lalu sebelum ia lanjut menjelaskan, kepalanya berpaling ke Aldo.
“Hei, kita ke kantin buat makan bukan untuk bengong.”
Yara menyenggol lengan Aldo. Menarik ke realita.

“Ada apa?” tanya Aldo sambil menggaruk kepala yang tak gatal.

Noor angkat suara lebih dahulu.
“Mikirin apaan?”

“Heran aja sih bisa ada darah di enternit,” jawab Aldo jujur. “Apa benar penyebabnya hantu Kulina?”

Andy otomatis membuka mulut. “Bisa jadi, bro! Kalau penyebabnya Liora seperti kata gosip. Harusnya hantunya gentayangan di kelas dia, bukan kelasnya sendiri.”

“Apa mungkin bukan Liora pelakunya tapi Viola?” Yara menimpali, ikut serius dan menyimak.

Noor mendorong kacamatanya ke pangkal hidung. “Terlalu dini menyimpulkan. Mungkin aja ada urusan yang belum selesai antara almarhum Kulina dengan Viola. Sampai pakai pesan darah segala untuk berkomunikasi.”

DENTINGWhere stories live. Discover now