Chapter 3²

2.3K 265 17
                                    

Pagi itu udara serasa menusuk kulit. Menandakan musim dingin yang akan lekas datang menyapa. Ren mengemasi barang-barangnya saat itu. Memasukkan dompet, smartphone, serta barang-barang penting lainnya ke dalam tas selempang. Kamar Vier sudah sepi. Sejak subuh tadi, laki-laki nilam itu sudah hengkang dari sana. Kini, tinggalah Ren yang tengah sibuk bersiap pergi kota untuk mencari sesuatu yang bisa ia berikan pada Vier.

Ren menghela napas. Diperiksannya kembali isi dompetnya. Hanya ada enam aurum¹ di sana. Sisa dari uang kiriman dari Tropicae² untuk bulan ini. Tak banyak yang bisa ia terima bulan ini. Ibu angkatnya juga mengabari sedang dibutuhkan dana untuk perbaikan panti asuhan. Jadi, yeah, uang sakunya berkurang bulan ini. Tak disangkanya pula, bulan ini banyak hal yang harus ia beli untuk praktik beberapa mapel.  Dan kemarin, baru saja ia diberitahu Rezel--dengan pincingan mata seperti bentuk ancaman--ia harus menyiapkan sebuah hadiah sebagai ucapan selamat untuk Vier. Ren kembali menghela napas. Jikalau tak ada yang bisa ia berikan pada Vier, sisi lain dirinya mengancam dengan segunung rasa bersalah. Teman macam apa, kau? Perkataan Vier sebelumnya terngiang tiba-tiba. Membuat Ren menggelengkan kepalanya lekas-lekas.

Apa yang bisa kubeli?  Ren berpikir keras. Kakinya menyisir jalanan setapak yang mengarah ke gerbang luar Royal High School. Tangannya berulang kali meraba dompet tipisnya di dalam tas selempang. Ia tak yakin bisa membelikan sesuatu yang berarti untuk Vier dengan uang yang terbatas. Ren menampik kembali semua perasaan pesimisnya. Vier bukanlah orang yang suka melihat barang dari harganya.  Yeah, apa pun itu pasti laki-laki itu bersedia menerimanya.

Gadis itu terhenti di pos jaga untuk meminta izin. Kali ini didapatinya Tn. Stamford tengah duduk bersandar di atas bangku yang nampak nyaman, ditemani secangkir kopi dengan kedua tangannya yang menggenggam koran pagi ini.

"Permisi." Ren menegur sopan.

Tn. Stamford menghentikan kegiatan. Ia membenarkan kaca matanya lantas berkata, "Ya. Ada yang bisa saya bantu." Tn. Stamford meletakkan korannya lantas berdiri.

"Ah, anu, s-saya ingin meminta izin pergi ke kota untuk membeli sesuatu."

"Berapa lama?" tanya Tn. Stamford lagi.

"Saya tak bisa perkirakan," jawab Ren, "tapi saya akan kembali sebelum pukul sepuluh."

Tn. Stamford tak banyak bicara. Hingga Ren tak perlu bersusah payah menahan kegugupannya untuk bicara dengan seorang yang lebih tua darinya. Tn. Stamford hanya mengangguk mengerti, lantas memerintahkan Ren untuk mencatat namanya dalam sebuah buku tebal bersampul kulit. Setelahnya, Tn. Stamford memberi gadis itu sebuah pin. Tertulis di sana, Tanda Perizinan Keluar Area, tertanda Royal High School. Ren menyematkan pin itu pada bajunya, kemudian segera bergegas keluar melalu pintu gerbang yang sudah terbuka lebar.

Ren berjalan ringan. Menyisir trotoar yang sudah cukup ramai. Banyak orang berlalu-lalang pagi ini. Banyak anak-anak SD sampai seusinya berbondong-bondong menapaki trotoar. Seragam yang mereka kenakan bervariasi. Mulai dari bawahan kotak-kotak hingga pattern batik yang mencolok. Ah, sepertinya asyik sekali bisa menikmati kota setiap kali berangkat ke sekolah. Sayangnya, Royal High School bukan tipe sekolah yang membebaskan siswa-siswinya melancong sampai ke ujung kota. Maklum, tipe sekolah itu adalah asrama dengan segudang peraturan.

Ren kembali menfokuskan pandangannya pada jajaran bangunan mungil yang berderet di pinggiran jalan raya. Tak terasa, dirinya sudah sampai di pusat kota. Kompleks pertokoan berdiri berjajar. Menawarkan berbagai barang dan jasa. Ren melirik sebuah bangunan dengan dekorasi bergaya victoria. Sepertinya cafe baru. Beberapa pegawai juga tampak menyebarkan pamflet-pamflet dengan iklan menarik pada pejalan kaki. Ren ingin berkunjung sebentar, tapi waktu dan isi dompetnya tak mengizinkan. Gadis itu lekas menggeleng. Meneruskan langkah kakinya. Sebelum hasrat mendorongnya berbuat nekat.

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now