Chapter 5²

2.6K 237 429
                                    

Matahari baru naik dua penggalah. Cahayanya agak temaram, tertutup awan-awan yang mulai berarakan. Embun-embun masih bergelantungan di balik sisi daun. Menguar hawa dingin, mengingatkan tentang musim dingin yang dapat dihitung hari. Hawa dingin luar membuat suasana agak basah. Di sisi lain, Ren merasakan yang sebaliknya. Hangat. Gadis itu masih menenggelamkan dirinya dalam selimut wol. Hingga rasa pegal mulai merambati punggung hingga lengan kirinya yang tertindih membangunkannya.

Ren berguling. Membuat posisinya tengkurap. Ia menumpu tubuhnya dengan lengan kanan, sedangkan tangan lainnya mengelus punggung. Bibirnya komat-kamit. Menggumamkan beberapa rutukan tentang seberapa kejamnya Vier mengambil alih ranjang yang seharusnya ditempatinya. Yeah, walaupun laki-laki itu lebih berhak, tapi ini keterlaluan.

"Ukh ... Punggungku." Ren mendesis sembari mengambil posisi duduk. Ia menyugar rambut yang kian nakal menutupi pandang.

"Kupikir kau tak akan bangun." Vier menumpu tubuhnya dengan lengan pada sandaran sofa. Ia meringis sembari menatap sok kasihan pada Ren yang masih mengelus punggungnya.

"Apa?" Ren balas menatap. "Kau harus tanggung jawab! Punggungku sakit."

Vier memutar tubuh, mendudukan dirinya pada sandaran sofa. "Kenapa aku?"

Ren melempar bantal sofa pada laki-laki itu. Namun, dengan mudahnya Vier menangkap bantal itu dengan satu tangan. Bahkan, di akhir gerakan jemarinya mencengkeram bantal, ia sempat tersenyum angkuh. Mengesalkan.

"Karena kau mengambil alih kasur sembarangan."

Ren menatap berang. Namun, entah kenapa dirinya nyaman dengan Vier yang seperti ini. Vier yang hangat. Bukan pangeran es seperti yang orang-orang bilang.

"Aku ketiduran," ujar Vier, "kenapa tak membangunkanku?" laki-laki itu balas memberi tatapan mengintimidasi. Tatapannya itu seakan berkata, "ini salah siapa?".

Ren menggaruk tengkuknya. Mencari-cari jawaban yang tepat. Menyibak semak-semak perdu yang menutup pikirannya untuk berpetualang. Memikirkan alasan yang logis dan tentunya tak sampai mengundang tawa dari laki-laki di depannya. Terlalu banyak tuntutan yang harus terpenuhi dalam alasannya malah membuat Ren menemukan kekosongan. Tak ada apa pun yang bisa ia jabarkan. Tak ada satu pun alasan--yang aneh sekalipun--muncul di lorong-lorong pikirannya.

"Uhm ... Entahlah." Ren mengendikkan bahu, melambaikan tangan pada pikirannya yang buntu untuk mencari-cari alasan.

"Intinya itu bukan salahku."

Vier beranjak. Ia berjalan ke arah kaca balkon yang masih tertutup dua lapis gorden. Jemarinya menyingkap gorden yang paling tebal, membuat berkas-berkas cahaya matahari pagi berebut masuk menembus kaca dan lapisan gorden tipis. Cahayanya langsung jatuh ke dalam kama, lantas memantul ke segala arah. Kamar yang tadinya agak temaram kini sedikit lebih terang.

"Cepat bangun!" Vier melempar bantal pada Ren yang hendak membaringkan dirinya lagi.

"Argh ... Vier!"

"Jangan banyak mengeluh jika kau tak puas dengan hari terakhirmu di sini."

Vier memasukkan kode nomor untuk membuka pintu. Ia sempat menoleh untuk memastikan Ren sudah bangun, lantas menghilang di balik pintu.

Ren menguap lebar. Direnggangkannya otot-otot tangan yang menegang. Ia memijit leher sejenak. Agaknya posisi tidur miring di atas sofa adalah pilihan yang buruk. Ia tak akan lagi mau mengulangnya walaupun harus membangunkan Vier yang tidur di tempatnya karena kelelahan.

Selepas melipat selimut dan melemparnya asal ke atas kasur, Ren menjejak lantai menuju balkon. Tangannya sempat meraih dream catcher yang bergemerincing tertiup angin. Manik keemasannya menyisir, mengamati dedaunan hijau yang berkerumun di atas dahan-dahan. Lagaknya musim gugur tak mempengaruhi mereka. Berbeda jauh dengan pohon apel dan pir yang ada di ujung pandang Ren. Yang tersisa hanya ranting-ranting tak berdaun.

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now