Chapter 22²

1.6K 202 51
                                    

Ren menghela napasnya yang terasa sesak

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Ren menghela napasnya yang terasa sesak. Paru-parunya terasa menyempit saat ia mengulas ingatan ngeri yang dijelajahnya, menceritakan semua pada Vier dan Gael. Menyimpan masalahmu sendiri tak akan menyelesaikan semuanya, katanya dalam hati. Mengingat kata-kata Vier. Pada akhirnya, ia membebankan seluruh kepercayaannya pada Vier dan sedikit untuk Gael. Anggap saja mereka dapat membantu.

"Hanya sampai di situ?" tanya Vier memastikan tak ada yang terlewat dari cerita Ren.

Ren mengangguk. "Ya, hanya itu." Ia menggosok lengannya yang merinding, lantas menyelimuti diri dengan mantel Vier.

Jelas semua ini masih berupa teka-teki. Puzzle yang keping lainnya masih berpencar, teracak dan butuh bantuan, atau semacam kunci. Ren sendiri tak terlalu pintar menafsirkan teka-teki, terlebih cerita rumpang. Kesimpulan darinya hanya akan berbuah menjadi jawaban tak masuk akal yang mengocok perut. Mengesalkan.

"Kedengarannya itu tragedi yang besar." Gael bergumam. Ia menyadarkan tubuhnya pada rak kayu, ikut berpikir. "Sebuah kastil yang hancur, seharusnya itu tercatat dalam sejarah baru-baru ini."

Vier manggut-manggut. "Mungkin hanya perlu beberapa kunci," katanya, "apa kau ingat seperti apa tempatmu berpijak saat itu?"

Ren berpikir kembali. Yang terlintas di pikirannya hanya asap hitam yang membumbung, ubin yang menghitam, dinding-dinding runtuh, dan langit yang kelabu. Tak ada ciri spesifik yang dapat membantu. Pandangannya sangat terbatas. Ia sama sekali tak bisa berpaling dari perannya sebagai gadis kecil yang tak berdaya.

"Sama sekali tak membantu." Ren mendecak putus asa. Apa ini akan jadi teka-teki seumur hidupku?

"Kau ingat wajah ibumu?" Gael bertanya. Matanya memincing ingin tahu.

"Ya," jawab Ren, "wajahnya terlihat masih muda. Rambutnya berwarna cokelat mengilat yang beraroma manis. Matanya seperti batu topaz kuning, indah sekali."

Gael berpikir sejenak. "Seorang hoffan ya." Ia lantas beranjak ke sisi rak kayu. Tepat di sana, sebuah kotak kayu berdiri. Ren tak pernah tahu ada kotak macam itu berdiri di sana. Gael memunggahnya, mengeluarkan sekumpulan buku-buku sangat tebal dan terselaput debu. "Jika itu berhubungan dengan hoffan, mungkin saja akan tercatat dalam catatan tragedi hoffan," katanya kemudian.

Ren memerhatikan Gael dengan dahi berkerut dalam. Ia baru dengar tentang catatan semacam itu. Tapi catatan macam itu kedengaran lumrah. Toh, banyak sekali tragedi dalam lingkup kehidupan klan hoffan. Yang terbesar dan paling terkenal adalah kejadian seratus tahun lalu. Saat para hoffan dibantai tanpa alasan. Menyisihkan seperlima dari semua yang ada. Mengerikan.

"Nah," kata Gael, "kira-kira tahun berapa itu?"

Ren menengadahkan kepala, menerawang ke atas langit-langit. "Kupikir usiaku berkisar 6 tahunan.

"Sembilan tahun lalu ya." Gael beranjak dari tempanya memunggah kotak kayu. Ia meletakkan sebuah buku tebal ke atas meja. Debunya bertebaran, membuat Ren bersin beberapa kali. "Bantu aku mencarinya. Mungkin ini bisa jadi salah satu kuncinya."

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now