Chapter 16²

2K 230 99
                                    

Lampu-lampu sudah mulai menyala, membuat koridor-koridor senyap itu terang

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Lampu-lampu sudah mulai menyala, membuat koridor-koridor senyap itu terang. Di balik jendela, salju masih turun. Membawa serta-merta hawa dingin, menurunkan suhu udara dari hari ke hari. Lagaknya, Ren pun perlu mempersiapkan pakaian yang lebih hangat lagi. Ia tak bisa terus menggigil dan berakhir dengan flu. Dirinya tak ingin menunggu hipotermia.

Engsel pintu berderit saat Ren membukanya. Yang ia temukan di dalam ruangan hangat itu adalah ketiga temannya yang tengah ribut membicarakan suatu hal--yang tak dapat Ren mengerti bagian menariknya. Sedangkan Musa duduk di sofa dekat mereka, menyimak sebuah majalah AirStreet yang terbit minggu ini.

Ren menghela napas panjang sambil menutup pintu. Ia mengambil napas dalam-dalam, membaurkan diri dengan kamarnya yang hangat. Salju dan cuaca dingin benar-benar merepotkan.

"Hei, Ren," panggil Cecil, "kemana saja kau? Ini sudah petang."

"Hanya mengurus kepentingan tambahan." Ren menjatuhkan dirinya ke atas kasur, membiarkan kasur dengan seprai lembut dan hangat memeluknya.

"Oh, ya. Tadi kau kenapa? Excel ke mari," tambah Eva dengan alis bertaut.

Ren menegakkan kepalanya. Ia bahkan lupa tentang bagaimana Excel mendapatkan obatnya secepat itu. Yang pasti, obat itu bukan jenis yang mudah di temukan di unit kesehatan. Lebih logis jika laki-laki itu benar-benar mendatangi kamarnya. "Excel?"

"Ya," jawab Cecil, "dia mengetuk pintu seperti orang kebakaran jenggot, lalu bertanya panik." ia bercerita dengan wajah agak berseri. Mungkin suatu kenikmatan bertemu dengan Excel dan bicara lebih dekat dengannya.

"Kami sangat terkejut!" seru Anne. "Bagaimana Excel bisa kemari dan mengambil obatmu?" tanyanya kemudian.

Mereka bertiga sama-sama menatap Ren penuh selidik. Manik mereka berkobar seolah berkata, "Bagaimana bisa kau dengan mudahnya mendekati orang yang selama ini ada di daftar kami untuk didekati?" Ya, kalau dipikir-pikir, aneh juga. Ren bahkan tak pernah terlihat atau dekat dengan sepupu Vier itu. Tentu hal demikian akan menjadi kejadian menggemparkan untuk teman-temannya yang memiliki kecenderungan orang populer.

"Eh, i-itu bukan seperti yang kalian kira." Ren terbata. Tatapan ingin tahu ketiga temannya terasa lebih seram dari sebuah tatapan interogasi pada seorang tersangka. "Saat itu sakit kepalaku kambuh. Dan hanya ada Excel di tempat kejadian. Jadi, dia menawarkan bantuannya saja."

Alis Cecil, Anne, dan Eva bertaut. Terlihat tak puas dengan jawaban Ren. Sekiranya ada hal yang lebih menakjubkan atau sesuatu yang romantis di balik itu. Kenyataannya itu adalah hal lumrah.

"Oh, kau beruntung sekali." Anne bicara dengan wajah berbinar. "Itu kesempatanmu untuk mengenalnya," tambahnya semangat.

"Ah, jangan bicara yang tidak-tidak." Ren tersenyum kecut.

Ia sudah cukup sampai di situ saja mengenal Excel. Ia tak bisa kenal lebih jauh dengan orang yang notabenenya musuh Vier--jika sifatnya masih sama dengan apa yang ada di masa lalu. Excel juga sudah terlalu banyak penggemar, akan ada masalah jika tersiar kabar anak baru yang mendekati serorang pangeran ramah, Excel. Ren tak mau namanya terpampang di berita majalah dengan status berita terkini, atau menjadi desas-desus tak jelas yang berujung fitnah. Mirip seperti adegan sinetron yang pernah ia lihat.

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now