Chapter 31²

1.8K 240 183
                                    


Ren baru mendapatkan kesadarannya kembali saat matahari sudah setinggi sepenggalah di luar jendela

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ren baru mendapatkan kesadarannya kembali saat matahari sudah setinggi sepenggalah di luar jendela. Ia menghabiskan waktu cukup banyak sekadar untuk adu mulut dengan Ellea. Perempuan itu kembali ke alam bawah sadar selepas menanggalkan kesadaran dari raga Ren begitu saja. Ren cepat-cepat hendak mengambil alih kesadarannya. Namun, perempuan itu melarangnya dengan tegas. "Di sinilah sebentar lagi! Kau harus memulihkan energimu barang sedikit," katanya. Mungkin itu ada benarnya, karena sebelumnya ia merasa lemas dan kelelahan. Namun, ia tak mau menanggalkan kesadarannya terlalu lama. Tubuhnya yang tergolek tanpa kesadaran akan merepotkan Vier, bukan? Ren sudah bersumpah pada dirinya, bahwasanya ia tak akan merepotkan orang lain lagi. Setidaknya untuk menyelesaikan masalah ini.

Rasanya sudah terlalu lama Ren bertengkar dengan Ellea di alam bawah sadar. Gadis itu akhirnya terbangun membuka matanya. Ia bangun dalam posisi terbaring, menyandarkan kepalanya pada pangkuan Vier. Ia sungguh merasa tak tahu malu. Dengan lekas, ia bangun dan mengambil posisi terduduk. Namun, setelahnya dirinya malah sibuk mengaduh karena hentakan gerakan tiba-tibanya membuat punggungnya terasa nyeri. Padahal, saat di alam bawah sadar, punggungnya tak terasa sakit lagi.

"Kau sudah lebih baik?" Suara Vier terdengar dari balik punggung Ren. Gadis yang ditanyainya tertoleh dan tercenung sesaat. "Ren?"

"Ya!" Ren menjawab spontan sampai-sampai membuat dirinya sendiri terlonjak. "Aku sudah lebih baik." Ia lantas beranjak berdiri dan berlagak merenggangkan otot-otot lengannya. Ia tak tahu mengapa hatinya tetap kalut, padahal Vier di hadapannya juga sudah baik-baik saja. Rasanya sudah tak punya muka untuk berdiri di hadapannya. Ren sudah melakukan kesalahan besar yang membuat teman-temannya--termasuk Vier--terjerumus ke dalam masalah pelik. Bukankah dirinya begitu tak tahu malu jika tak merasa bersalah?

Ren dengar Vier menghela napas panjang. Laki-laki itu juga beranjak berdiri dan membersihkan pakaiannya dari debu pualam. "Kurasa penjelasan precious sudah cukup untukku," katanya, "jadi, ayo pergi."

Vier berjalan mendahului Ren dan keluar ruangan duluan. Ren terdiam, mengamatinya. Maniknya lantas bergerak ke arah jendela yang berdiri di balik kursi takhta. Matahari mulai tinggi. Ren harap, ini semua akan selesai sebelum petang. Ia hanya tidak mau bermalam lagi di tempat macam ini. Rasanya, seolah hal yang coba ia kerjakan tak kunjung selesai. Seperti minpi tak berujung. Cerita tanpa akhir yang menuntutnya untuk terus berperan. Ia lelah. Aku ingin semuanya cepat selesai. Gadis itu lantas menggelengkan kepala dan berlari kecil menyusul Vier yang telah menjejakkan kakinya di lantai pualam lorong.

"Precious bilang, kau punya kunci sel tahanan. Benarkah?" Vier bertanya saat Ren berhasil mengimbangi langkahnya yang sudah cukup jauh.

Ren menganggukkan kepala. "Ini kunci kusus," jawabnya, "karena semua sel yang mengurung mereka diperkuat dengan rune. Membukanya dengan cara lama akan sia-sia saja."

Vier hanya manggut-manggut, mengikuti ke mana gadis itu berjalan. Sejauh lorong yang mereka lewati, tak ada musuh yang memperlambat jalan. Yang ada hanyalah sisa-sisa pertarungan dan beberapa tubuh berlumuran darah. Cara sembilan pahlawan membereskan ini sungguh brutal. Ren pun yakin, kalaupun mereka bersembilan punya kesempatan membersihkan sisa pertarungan--seperti menyingkirkan mayat yang menghalangi jalan--pasti tak akan mereka lakukan. "Orang-orang seperti mereka masihkah pantas mendapat pemakaman yang layak? Berikan saja pada anjing liar, atau peliharaan yang mereka ciptakan itu." Kata-kata Laura yang kembali terngiang membuat Ren merinding.

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now