Chapter 32²

1.8K 216 56
                                    

Jika kau mendengar laung kepedihan itu, maka kau berada di jalan kematian

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Jika kau mendengar laung kepedihan itu, maka kau berada di jalan kematian.

Ren tersentak dan terbangun. Ia membuka matanya lebar-lebar. Dada gadis itu naik turun. Napasnya terengah-engah dan jantungnya berpacu seolah tengah berlomba, menggebrak-gebrak kerangka di dada sampai sesak rasanya. Ia lantas menarik napasnya dalam, mencoba bernapas senormal yang ia bisa. Matanya bergerak-gerak, berusaha mengenali tempatnya berada.

Putih. Rasanya seperti berada di alam bawah sadar yang hampa. Tanpa ada sebuah ilusi setitik pun yang mampu sedikit mewarnai pandangan. Ren beranjak dan memutar pandangan. Apa ia berada di alam bawah sadar, tapi mengapa terasa begitu asing? Seolah dirinya sudah tidak berada di dalam tubuhnya sendiri. Apa karena Ellea tak bersama dirinya lagi? Ren memegangi kepalanya, berusaha untuk kembali mengingat. Meyakinkan dirinya sendiri bahwa semua yang telah terjadi bukanlah sebuah mimpi. Semua kekacauan dan mimpi buruk itu. Ini tidak betul, 'kan, Elle. Ia tersenyum getir saat tak mendapatkan jawaban apa pun.

Dengan ragu, Ren mulai melangkahkan kakinya. Ia merasakan kakinya tanpa alas di bawah sana dan tubuhnya hanya terbalut sebuah piama krem berenda. Rambutnya digerai dan dibiarkan jatuh begitu saja di punggung. Ia tidak pikun atau amnesia lagi. Dirinya ingat betul sebelum jatuh ke jurang mengerikan itu, ia masih memakai pakaiannya yang telah koyak dan ternoda darah, rambut kepang yang telah awut-awutan, dan keadaan dirinya yang terluka. Namun, apa yang sekarang dirinya dapati? Tak ada luka segores pun, lagi rasa sakit. Seolah yang sebelum itu hanyalah khayalan belaka.

"Nak, kurasa kau tersesat."

Ren memutar pandangan dan menemukan sesosok pria. Dia pria dengan kaki jenjang dan tubuh bagus yang dibalut pakaian berjubah yang tampak elit. Rambutnya pirang, menjuntai sampai punggung dan memiliki ujung tajam--sepintas terlihat seperti lidah api. Maniknya kuning keemasan yang memiliki tatapan tajam dan kewibawaan. Ren pernah lihat dia. Rasanya sering dan menjadi sebuah kefamiliaran dalam ingatannya. "Ravish Wolfheart?"

Pria itu tersenyum. "Hebat. Kau langsung mengenaliku ya," katanya sambil terkekeh.

Bagaimana mungkin? Ren terperangah. Bagaimana mungkin sosok yang jelas telah tiada ratusan tahun silam berdiri di hadapannya? Kecuali ... Aku sudah mati?!

"Kenapa wajahmu masam begitu?"

Ren merasakan jemari Ravish yang besar menegakkan dagunya, membuatnya menengadah. Ia bisa lihat dengan jelas wajah Ravish. Dia masih sangat muda, sebagaimana ia tiada sebagai sun yang jarang memiliki umur panjang. Wajahnya putih bersih, tanpa kerutan. Seolah keramik yang dipahat tanpa cela. Di dahinya, terukir sebuah simbol matahari yang mempertegas kedudukannya sebagai sun pertama yang mencipta barrier. Sangat jelas dan mutlak. Ren terpaku. Tak hentinya mengagumi wajah yang begitu elok di hadapannya.

"Hei, kau tak apa?"

Ren tersadar dari lamunannya dan lekas-lekas melengos. Berhenti menatap dengan tatapan kurang ajar pada orang yang harusnya begitu ia hormati. Jika kedudukan sun-nya kini adalah seorang junior, maka orang di hadapannya itu adalah guru besar, guru dari segala guru.

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now