Chapter 15²

1.6K 216 109
                                    

Ren menekuk-nekuk ujung kertas kosong

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Ren menekuk-nekuk ujung kertas kosong.  Mencoba mengalihkan fokusnya dari Excel yang bicara banyak hal. Entah sejak kapan dirinya mulai terbiasa akan keberadaan laki-laki itu. Padahal, beberapa menit lalu, ia masih bicara ketus dan enggan.

"Jadi, apa alasanmu?"

Ren terentak saat sebuah senggolan kecil terangsang oleh lengannya. "A-apa? Kau tadi bilang apa?"

Excel meringis. "Kau tak mendengarkanku?" ia menggelengkan kepala. Gadis itu terus mencoba mengabaikannya. Entah dendam apa yang membuat sikapnya semengesalkan itu.

Ren menghela napas. Ia menyelonjorkan kakinya. Setidaknya, kepalanya sudah berhenti berdenyut sejak beberapa menit lalu. Tak ada salahnya bersimpuh di atas pualam koridor. Yang salah hanya karena Excel di sampingnya. Ia tak bisa pergi begitu saja karena ia masih punya rasa terima kasih.

"Akan aku ulangi." Excel menyandarkan punggungnya. "Apa alasanmu menghindariku?"

"Hmm...."

Ren mengalihkan pandang. Menatap jendela-jendela kaca besar yang tertanam pada dinding koridor. Dari sana, cahaya matahari menerobos masuk. Cahayanya langsung jatuh ke atas permukaan pualam dan menciptakan pantulan cahaya menyilaukan.

"Jangan hanya berdeham."

"Aku tidak terlalu suka laki-laki yang suka menggoda perempuan." Ren menghadapkan wajahnya pada Excel, lengkap dengan senyuman tanpa dosa.

Daripada mengada-ada, Ren mengatakan sejujurnya. Yang ia lihat saat tak sengaja berpapasan dengan Excel hanyalah para perempuan yang sibuk berbicara padanya dengan wajah merona. Laki-laki itu juga sibuk menebar senyum, tanpa peduli seberapa banyak harapan yang ikut ia tebar pada para perempuan. Ia lebih kelihatan sebagai penggoda ketimbang ramah.

"A-apa?" Excel melotot ke arah Ren. "Kau pikir aku menggoda? Apa aku kelihatan suka menggoda?"

"Ya. Memanggilku manis sudah cukup membuktikannya." Ren mengendikkan bahu.

Di balik semua itu, Ren akui, Excel punya kepribadian yang lumayan. Dia baik. Jauh dari bayang-bayang antagonis yang ada di kepala Ren. Mungkin terlalu berlebihan menganggapnya sebagai tokoh jahat. Toh, yang Ren lihat di ingatan Vier adalah sebuah masa lalu. Bisa saja Excel yang di sana bukan Excel yang kini duduk di sisinya.

"Itu, 'kan karena kau memang manis." Excel menghela napas panjang. Selaras dengan kata orang-orang, laki-laki itu serba salah.

Merasa terlalu lama membuang waktu dengan duduk-duduk tak jelas di koridor--tentu dengan seorang Excel yang cerewetnya melebihi Zuan, Ren beranjak. Ia meluruskan kakinya perlahan sembari menumpu tangan pada dinding. Jam yang melingkari pergelangan tangannya sudah menunjukkan pukul setengah tiga sore. Ia masih harus ke ruang OSIS untuk menemui Gael, memenuhi permintaan mengesalkan si laki-laki nilam. Tinggal beberapa menit lagi sebelum ruang OSIS ditutup.

Prince or Princess: MEMORIESWhere stories live. Discover now