[17] : Dia yang pantas mendapat kesempatan

6.8K 1.3K 150
                                    

Maxime tahu dia bermimpi, dia sadar dirinya sedang berada dalam mimpi sekarang. Tapi mimpi itu sangat jelas, sangat nyata di matanya. Dimana sekarang dia berada di tengah-tengah ruang keluarga di rumah ibunya. Bahkan Maxime bisa mencium wangi masakan ibunya di dapur. Ibunya, Chianty Lynch memang seorang ilmuwan yang terkadang melupakan dunia luar kalau dia sudah berada di dalam labnya, namun saat Chianty kembali ke permukaan, tepatnya ke atas, karena labnya berada di bawah tanah, dia akan berubah menjadi ibu yang sedikit menyenangkan bagi Maxime, bahkan masakan Chianty sangat lezat meskipun ibunya itu terkadang lupa memberinya makan. Lagi-lagi karena terlalu sibuk di labnya.

"Max! makan siangmu sudah siap, sayang." Teriakan ibunya terdengar dari arah dapur. Oh, betapa rindunya Maxime dengan suara sang ibu yang walaupun berteriak tidak pernah sekalipun terdengar cempreng, melainkan lembut dan sangat indah.

Suara langkah kaki menuruni tangga tertangkap indera pendengaran Maxime. Seorang anak berusia kurang lebih dua belas tahun turun dari loteng, dengan kaos hitam bergambar tengkorak yang sedikit menyeramkan untuk dikenakan seorang bocah kecil sepertinya, juga celana army yang sering dinaikan karena kedodoran. Itu dia, Maxime, saat usia 12 tahun.

"Ibu masak apa?" Maxime muda menarik kursi makan duduk manis di sana menunggu makan siangnya tersaji di meja.

Chianty meletakan dua piring di meja makan, sepiring Spagethi Carbonara yang sementara yang satu lagi berisi sepiring Roast Meats.

"Ibu, ibu mau membuatku gendut ya?" keluh Maxime saat melihat menu makan siangnya yang sepertinya terlalu berat untuk dimakan di siang hari. Terkadang, ibunya terlalu berlebihan juga.

"Hey, ini akan menambah kekuatanmu Maxie." Chianty mencubit pipi Maxime gemas.

Maxime mengeleng, "Aku tidak mau bertambah kuat, aku terlihat menakutkan ibu." Maxime menunduk lesu, memainkan jari-jari tangannya.

"Maxime." Chianty menyentuh pipi Maxime, menatap mata hijau zambrut Maxime kecil yang mengerjap-ngerjap jenaka."Matamu sangat mirip dengan ayahmu, ibu suka melihatnya." Chianty tersenyum lembut. "Dengarkan ibu, sebentar lagi kau akan bersekolah di sekolah yang cocok denganmu. Di sana, kau bisa mendapatkan teman. Teman-teman sepertimu."

Mata hijau zambrut itu berbinar senang, sepercik harapan akan pertemanan terbayang di benaknya." Benarkah?"

Chianty mengangguk, "Karena itu, kau sekarang harus makan. Dan jadilah kuat, seperti ayahmu."

Maxime mengangguk semangat, "Iya ibu, aku akan kuat seperti ayah." Maxime memamerkan cengirannya memindahkan Roats Meats ke piringnya. Mengunyahnya dengan semangat.

Kau salah bu, aku sudah tidak ingin lagi sekuat ayah. Aku tidak ingin seperti monster.

"Dia sadar!"

"Hey, dia sadar!"

Samar-samar, Maxime mendengar suara gaduh di sekelilingnya. Matanya terasa berat sekali, tidak, dia tidak merasakan sakit apapun di tubuhnya. Dia hanya mengantuk, dan suara-suara itu membangunkannya, membangunkan Maxime dari mimpi masa kecilnya. Saat mata Maxime benar-benar terbuka, dia melihat Ken di sana, juga beberapa teman Ken yang lain. Menatapnya penuh kelegaan, Maxime tidak pernah melihat wajah seseorang yang menatapnya seperti itu.

"Max!" Ken berusaha memeluk Maxime yang sedang berusaha untuk duduk. Namun sedikit merintih saat perban di tangan kirinya tersenggol. "Syukurlah kau sudah sadar, oh aku khawatir sekali karena kau tertidur sampai dua hari."

Maxime sedikit terkejut, "Dua hari? Sungguh? Ken, kau tidak apa-apa?' Maxime bertanya saat melihat Ken berjengkit kesakitan melupakan sedikit tentang kenyataan kalau dia sudah jatuh tertidur selama dua hari dan bermimpi indah.

Constantine #1 : Perkamen Suci Lacnos ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang