[26] : D-Day

6.2K 1.2K 173
                                    

Hari masih terlalu pagi bagi mereka untuk berdiri di luar pada cuaca hampir minus derajat. Mereka, yang kebanyakan adalah laki-laki, bukan memakai pakaian hangat, tidak dengan coat,mantel, atau syal yang melekat pada mereka. Yang ada hanya baju zirah perang, berdiri di tengah tumpukan salju putih sambil memegang pedang, juga busur dan anak panah.

Suasana pagi itu terasa lebih sunyi dari sebelumnya, seperti mereka bisa mendengar detak jantung masing-masing yang berdetak lebih kencang dari sebelumnya. Wajah-wajah yang menyiratkan kegugupan, kecemasan, namun juga pendirian yang kuat untuk melindungi tempat tinggal mereka. Anak-anak lain sebagian sudah diungsikan ke rumah masing-masing, namun ada juga yang masih bertahan di kastil, memperhatikan dari dalam kastil lewat jendela-jendela kelas yang mengarah langsung ke halaman depan.

Aro meremat pedangnya erat, baginya ini jelas berbeda dari pelajaran berperang yang sering dia ikuti. Bahkan lain dari pelajaran yang beberapa hari ini mereka dapat dari Benjamin. Mereka bukan melawan satu sama lain, mereka akan melawan Hades dan sekutunya. Entah ini menjadi hari terakhir mereka menapak di bumi atau tidak. Aro tahu mereka tidak mudah untuk mati, tapi bukan berarti mereka abadi kan?

Aro menoleh ke samping saat menyadari Rex tengah menepuk-nepuk lengannya menenangkan. Aro hanya merotasikan matanya kesal, Rex itu anak dewa perang hal-hal seperti ini mungkin akan membuat hatinya senang, bukan ketakutan sepertinya. Tapi, bukankah dia juga anak Zeus? Pemimpin Olympus, oh apa kata ayahnya nanti kalau melihat anaknya yang satu ini ketakutan. Aro menghembuskan napas kuat-kuat sembari merapal doa memohon perlindungan.

"Kau gugup?" tanya Maxime pada Axel yang berdiri di sebelahnya.

Alih-alih menampilkan wajah serius saat menjawab, Axel justru menyunggingkan senyum yang terlalu lebar sampai membuat kening Maxime berkerut bingung. "Tidak pernah sebaik ini!" jawabnya.

"Kau sudah berpamitan pada kekasihmu?" tanya River setengah menggoda.

Maxime mengalihkan pandangan pada jendela di lantai dua, seorang gadis berparas manis dengan rambut ikal kecokelatan tengah menatap cemas –pada Maxime, Maxime membalas tatapan cemas itu dengan senyum tipis. Dia jadi teringat percakapannya kemarin sore dengan Gwyneth.

"Apa kau yakin akan melawan ayahmu?" tanya Gwyneth saat keduanya tengah bertemu di lorong yang mengarah ke kandang Medved.Mereka masih dalam rangka menjalin hubungan diam-diam, kalau kalian lupa dan bertanya-tanya kenapa mereka memilih bicara di lorong yang selalu sepi itu.

Maxime menyandarkan punggungya ke dinding sementara kedua tatapannya beradu pada langit-langit dimana lampu crystal menggantung. "Aku harus, meskipun tidak ingin."

"Jangan paksakan dirimu, Max." Gwyneth menyentuh lengan pemuda bermata hijau zambrud itu, kemudian menggenggam tangannya.

"Aku tidak bisa membiarkan teman-temanku berperang sendirian, Gwyn"

Puteri Persefone itu menatap kekasihnya sendu, meski mereka baru terikat sebagai kekasih. Namun dengan cepat dia bisa mengetahui bahwa Maxime seorang yang hangat dan sangat peduli pada teman-temannya. Sangat berbeda jauh dengan anggapan orang tentang putera Hades yang angkuh dan jahat, Gwyneth bisa melihat ketulusan pada diri pemuda itu. "Lakukan apa yang menurutmu benar, Max. Akan lebih baik kalau kau bisa mencegah perang besok."

Maxime menghela napas, "Aku sudah pernah bicara padanya, tapi tidak berhasil. Besok, aku akan mencobanya lagi. Besok aku akan bicara padanya."

"Kalau kau tidak berhasil?"

Maxime mengeratkan genggaman tangan mereka berdua, "Aku akan bertarung melawannya."

Teman-temannya yang lain saling pandang geli melihat Maxime yang terlihat benar-benar sedang jatuh cinta. Saat mereka tengah saling ledek untuk mencairkan ketegangan, tiba-tiba saja wajah Maxime menegang.

Constantine #1 : Perkamen Suci Lacnos ✔Where stories live. Discover now