ALANA berjongkok di depan gundukan tanah, kepalanya bertopang pada sebuah papan nisan bertuliskan nama almarhumah mamanya, air matanya telah habis bercucuran sejak beberapa menit yang lalu, meninggalkan jejak air mata di pipi putihnya. Di bawah hujan yang mengucurkan gerimis kecil Alana terus memeluk nisan mamanya, tanpa rasa ingin pergi maupun kedinginan, orang-orang yang menghantarkan mamanya diperistirahatan terakhir benar-benar sudah hilang semua, menyisahkan Alana yang merenung diri di tempat sepi ini.
Sekarang, Alana benar-benar hidup layaknya sebatangkara. Tempat ia menyurahkan isi hatinya dan tempatnya melepas keresahan di kalah ia mulai menyerah akan dunia, sudah pergi meninggalkan dirinya sendiri tanpa ada salam perpisahan.
Sanak saudara baik dari Papa maupun dan Mamanya benar-benar tak ada yang datang untuk melihat jenazah mamanya. Bahkan, Papanya sendiripun tak datang walau semenit pun untuk melihat Mama yang terakhir kalinya. Alana benar-benar merasa sedih dan benar-benar merasa tak dianggap ada di dunia ini.
Sebulir air mata jatuh dengan bebas di pipinya, membuat Alana dengan cepat menepis itu. Bukannya apa, Mamanya itu paling tidak suka melihat Alana menangis, jadi Alana sebisa mungkin untuk tidak melakukan itu walaupun tetap saja setetes demi setetes air mata akan tetap jatuh mengalir.
Alana memeluk erat papan putih itu sembari menutup matanya rapat-rapat, air hujan benar-benar mengguyur tubuhnya sekarang. Persetan dengan semuanya, kalaupun bisa, Alana ingin tidur di tempat ini karena tak ingin merindu. Namun, perlahan matanya yang tertutup rapat mulai terbuka, pelukan eratnya pun mengendur kala tidak merasakan tetes-tetes hujan yang mengenai tubuhnya.
Sosok Alaska di sana, dengan balutan hoodie hitam dan salah satu tangan di masukkan ke dalam saku hoodie-nya sedangkan tangan satunya memayungi Alana yang tengah bersedih. Netra cowok itu benar-benar tajam menghunus kala mendapati Alana dengan tampilan kusutnya.
"Pulang, udah mau malam." Alana memilih mengabaikan hal itu dan kembai memeluk erat papan milik Mamanya. "Alana!"
"Kamu pulang aja, Ska, aku masih pengen di sini?"
"Sampai kapan?"
"Sampai aku capek." Alaska mendengus mendengar ucapan Alana, sejak kapan cewek keras kepala ini capek? Mengejar dirinya saja Alana tidak pernah merasa capek apalagi melakukan hal seperti ini. Alaska jadi heran, apakah di dalam kamus Alana terdapat kata capek untuk sesuatu hal yang aneh? Misalnya seperti sekarang ini.
Dari pada beradu argumen dengan Alana, Alaska memilih menarik cewek itu agar segera berdiri dari posisi sebelumnya. Alana memberengut merasa tidak terima, ia hendak melepaskan diri namun melihat Alaska yang menatapnya datar cukup membuat nyalinya menciut. Alaska memang tidak akan berlaku kasar padanya, namun tidak tau niat lainkan?
"Aku bakal pulang kok kalau udah capek, kamu duluan aja."
"Gak, harus bareng," jawab Alaska dengan menekan kata 'harus' dalam kalimatnya tadi.
"Ska!"
"Alana!" Alaska tak membentak, namun nada suara itu cowok itu terkesan berbeda dari biasanya, "bisa gak sih, denger-dengeran kalau dibilangin?"
Cewek setinggi bahu Alaska itu menunduk, mendesah dalam hati. Alaska dengan segala perintahnya benar-benar membuat Alana tak bisa berkutik. "Tapi aku pengen nemenin Mama, rasanya sekarang udah beda banget, jadi pengen cepet-cepet nyusul Mama," ungkapnya tanpa berani mendongak.
Sedari tadi berdiri di samping Alana akhirnya Alaska memilih menggiring Alana berjalan menuju mobilnya. "Iya nanti, tapi nggak sekarang," jawab Alaska sekecil mungkin.
Kedua orang itu memilih masuk ke range rover evoque hitam milik Alaska. Alana menghela napas kala baru saja mendudukan dirinya di bangku samping kemudi. Hari terasa berat, sangat berat. Sebab, hari-hari berikutnya pasti akan terasa berbeda.
Pengharum mobil milik Alaska benar-benar menenangkan, ditambah cowok itu yang baru saja memberikannya selimut. Jangan berpikir Alaska akan memberikannya dengan gaya yang halus, tidak, tolong cepat singkirkan pikiran seperti itu, karena cowok itu langsung melemparkan ke arah Alana. Kalau orang yang baru mengenal Alaska, mereka pasti berpikir kalau cowok itu tidak ikhlas namun sebenarnya tidak.
Setau Alana, kalau tidak salah, mobil yang sekarang mereka naiki ini adalah mobil baru milik cowok itu. Alana tau karena ia melihatnya di story IG milik Chandra beberapa hari yang lalu, video berdurasi pendek dengan model time lapse itu memperlihatkan dirinya bersama Alaska yang sedang mengemudi juga kelima teman-temannya yang mengisi tempat duduk di belakang sana. Tak lupa menuliskan catatan pendek di video itu dengan kalimat 'ngeresmiin mobil baru Bos kita.' dan Alana tau maksudnya.
Beberapa menit ini keheningan menyapa keduanya, tak ada suara radio maupun Alana yang selalu memecah keheningan, keduanya memilih larut dengan pemikiran mereka masing-masing, sampai deringan telepon dari ponsel Alaska membuat sepasang mata mereka tertuju pada benda pipih itu. Nama kontak bertuliskan 'Bunda' terpampang di sana, membuat Alana kembali menatap ke depan, kalau saja yang menelpon itu nama perempuan yang tidak dikenalnya sudah pasti tangannya dengan lancang mengambil benda itu dan mengangkat teleponnya.
"Assalamualaikum, Bun." Alana menoleh sebentar, sejenis mencuri pandang, "Iya, ada." kali ini Alaska yang menoleh padanya, menatapnya dengan kentara tanpa sembunyi-sembunyi seperti dirinya tadi, jangan berpikir Alaska menatapnya dengan tatapan teduh melainkan tatapan seperti biasanya, yaitu datar. "Bunda gue mau bicara, jadi gue loudspeaker."
"Alana, sayang, kamu jangan nangis lagi yah, gimana sekarang keadaannya?" suara khas Aruna menyeruak begitu saja membuat Alana jadi gugup saat hendak menjawabnya.
"I-iya Bun, ini gak nangis lagi kok," jawab Alana sekenanya, tak lupa ia melirik Alaska yang masih anteng menyetir tanpa berniat menengok ke arahnya. Dan juga entah sejak kapan ia mulai memanggil Aruna dengan embel-embel Bunda, itupun karena suruhan Aruna juga.
"Kalau bisa Alana tinggal di rumah Bunda aja dulu deh, biar ada temennya," ujar Aruna di sebrang sana dengan nada cemas. Alana tersenyum tipis. Aruna telah menganggap dirinya layaknya anak perempuannya sendiri, jadi sifat protect itu timbul dengan sendirinya dari dalam diri Aruna. Alaska yang mendengar perkataan Bundanya tadi sontak menoleh sekilas.
"Gak usah, Bun. Lagian Alananya gak papa kok. Udah biasa tinggal sendirian juga." Alaska kembali menoleh bersamaan dengan itu Alana menoleh ke arah Alaska juga. Ada gurat aneh yang tersirat dari wajah cowok itu.
"Tapi Lan, yakin gak papa?"
"Yakin, Bun."
"Tapi janji yah, kalau ada apa-apa yang terjadi langsung telepon Bunda. Bunda khawatir banget, takut kamu kenapa-napa."
"Iya, Bun. Sip." dan, setelah itu Aruna pun menutup teleponnya dengan akhiran salam.
Kembali ke posisi awal, Alana memilih memejamkan matanya juga mengistrahatkan tubuhnya. Ia kira Alaska hendak berekspresi lebih saat tau ia menolak untuk tinggal di rumah cowok itu namun nyatanya Alaska tetaplah Alaska, yang akan terlihat biasa saja sekalipun Alana melakukan hal ajaib. Perlahan rasa kantuk menyerangnya, membuat Alana terbuai akan rayuan alam bawah sadar.
Sapuan halus di kepalanya benar-benar terasa lembut dan hangat "Kenapa harus nolak sih, Lan?" dan suara bernada rendah dari Alaska. Entahlah apakah itu nyata atau tidak. Sebab, Alana sudah benar-benar terbuai dengan bunga tidur.
TBC.
Follow me on ig: @nisaafatm
See you
nisaafatm
KAMU SEDANG MEMBACA
ALASKA
Teen Fiction[SUDAH TERBIT DI COCONUTBOOKS (Bintang Media)] Alaska Tahta Wardana, cowok jangkung berwajah tampan, pandai dalam hal adu fisik maupun otak, Bad boy namun menjadi kesayangan para guru, pelit ekspresi tetapi menjabat sebagai ketua geng besar di sekol...