ASEAN || 1. Dia Asean

7.4K 553 60
                                    

Suasana fakultas kedokteran di pagi itu masih ramai seperti hari-hari sebelumnya. Manusia berlalu-lalang di sana-sini. Angin pagi berdesir halus menerbangkan dedaunan dari pepohonan yang tumbuh di area fakultas. Mobil dan motor bergantian masuk ke area parkir, begitupula para mahasiswa dan mahasiswi yang berseliweran di koridor.

Dua gadis yang tengah terlibat percakapan asik-bagi mereka- berdiri di tepi koridor, menatap ke bawah gedung fakultas. Memperhatikan teman-teman satu fakultas mereka yang lewat seperti semut-semut memasuki gedung putih bertingkat itu. Masih dengan topik yang sama sejak pertama kali menginjakkan kaki di gedung itu beberapa jam yang lalu.

Airin-si gadis berkuncir kuda- memilih diam sedari tadi. Cukup mendengarkan sahabatnya yang tak hentinya menggosip, daripada menanggapi. Ia tak tahu dan tak mau tahu apapun tentang manusia yang tengah Yuan bicarakan. Menurutnya tak penting. Yang lebih penting saat ini adalah bagaimana caranya agar dosennya tak terus-terusan menyuruhnya merevisi. Entah sudah ke berapa kali. Airin rasanya akan gila.

"Gue jadi berpikir dia bukan manusia." Yuan geleng-geleng kepala sambil menatap layar ponselnya. Menatap objek yang menurutnya bukanlah sosok yang nyata, melainkan tokoh fiksi karena terlalu sempurna.

"Dia emang bukan manusia, Ya Tuhan." Lagi-lagi Yuan seperti akan cair bagai balok es yang dipanaskan di bawah terik matahari siang bolong. Cukup dengan menatap gambar, ia bisa meleleh seperti ini. Apalagi bertatap langsung. Akankah ia mati?

Airin memutar bola mata jengah. Pada akhirnya ia menolehkan kepalanya pada sahabatnya itu dengan tatapan malas.

"Apa hebatnya cowok yang lo bicarain itu? Berapa jam lo bicarain dia? Gak bosen?" Merasa sudah tak tahan, Airin membuka suara.

"Gak akan pernah bosen, Rin. Lo harus lihat." Yuan menyodorkan ponselnya tepat di depan wajah Arin. "Ganteng banget, kan?"

Airin sedikit memundurkan wajahnya, karena merasa terlalu dekat, dan pandangannya menjadi kabur. Sekarang terlihat jelas, foto seorang cowok berseragam SMA dengan rambut yang rapi, terpampang di layar ponsel Yuan.

Airin terdiam menatap pria di foto itu. Dari wajahnya, judes sekali, pikirnya. Terlihat angkuh, tanpa senyum.

"Dia masih SMA?" tanya Airin menatap Yuan dengan tampang menyelidik. Tak habis pikir Yuan suka pada cowok yang lebih muda darinya. Sebenarnya juga tak apa sih. Cinta kan tidak memandang umur.

"Eh, enak aja lo." Yuan menarik kembali poselnya. "Lo kira gue penyuka brondong gitu?" Ia tak terima. Tipe Yuan itu harus lelaki yang lebih dewasa dan bisa melindunginya. Gagah dan berani.

"Cowok di foto tadi pake seragam SMA," ujar Airin sambil mengedikkan dagunya ke arah ponsel Yuan.

"Itu mah foto kelulusannya dulu waktu SMA."

"Buat apaan lo nyimpen foto itu, Yuanita Maharani? Kenapa gak fotonya yang sekarang?" Airin memutar bola mata. Benar dong. Sekarang jaman sudah canggih. Yuan bisa saja mengambil foto cowok itu di akun sosmed si cowok tanpa ketahuan.

"Masalahnya gak ada."

"Dia punya akun sosmed dong." Airin menyisihkan rambutnya ke belakang telinga sambil melirik ke bawah balkon.

"Gak ada." Mendengar jawaban dari Yuan membuat Airin menoleh cepat.

"Dia gak punya sosmed?" tanya Airin tak percaya. Manusia macam apa yang tak punya akun sosmed di jaman sekarang ini?

"Gak ada. Dia tertutup dan gak tertarik sama media sosial. Ini aja gue dapetnya mesti jadi babu Bang Kaisar dulu. Bahkan, sampe sekarang gue masih jadi babunya Kai." Yuan berlagak memeluk ponselnya. Mengingat bagaimana dia menjadi pembantu Kaisar-teman cowok yang disukainya itu- agar bisa mendapatkan satu foto tadi.

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now