ASEAN || 38. Menusuk

1.7K 223 22
                                    

Sean dan Kaisar tiba di Puskesmas tempat Airin dan Rendra berada hanya dalam waktu beberapa menit. Sean mengebut seperti orang kesetanan, membuat Kaisar berteriak seperti orang gila di atas motor. Kaisar lupa temannya itu adalah pembalap liar di masalalunya.

Puskesmas tidak terlalu sesak. Hanya ada beberapa orang berlalu lalang. Sean mendapati seorang bapak-bapak yang berdiri depan pintu UGD,  kemudian mendekatinya.

"Permisi, Pak. Korban serempetan mobil di mana ya?" tanyanya sopan. Bapak itu menoleh, kemudian tersenyum ramah.

"Saudaranya Mas Rendra ya?"

Sean mengangguk cepat. "Iya, saya Kakaknya."

"Ada di dalam, Mas." Bapak itu memberi jalan agar Sean dapat masuk. Kaisar memilih untuk diam di luar, mengobrol dengan bapak tersebut. Ternyata bapak itu yang membawa Rendra dan Airin ke puskesmas ini, karena hanya puskesmas ini yang paling dekat dengan tempat kejadian.

Baru saja masuk, sapaan Rendra yang pertama kali menyambut Sean. "Kak..." Rendra duduk di ranjang dengan kaki menggantung. Kaki adiknya itu diperban, ada beberapa lecet di lengan dan wajahnya.

Sean mengalihkan pandangannya ke arah Airin yang masih diobati. Dia melangkah mendekat ke arah Rendra dahulu karena Airin masih ditangani oleh perawat.

"Kok bisa?" tanya Sean. Tangannya meraba luka di bawah mata Rendra, membuat adiknya itu melenguh sakit. Sean menghela napas berat.

"Gak ngerti, Kak. Padahal aku gak nyalip atau apa. Mobil itu nyerempet dan kabur. Untung kami cuma lecet." Jelas sekali Rendra masih syok sekaligus merasa bersalah. Dia juga tidak menyangka akan membawa Airin dalam keapesannya. Sebelumnya dia tidak pernah mengalami hal seperti ini meskipun ngebut dan menyalip kendaraan, tapi mungkin kali ini hari apesnya.

Sean diam saja. Dia tidak tahu mau menyahut bagaimana pada Rendra. Sekarang banyak sekali pemikiran aneh dalam otak Sean, dan semua mengacu pada satu nama. Sayangnya dia tidak mau berburuk sangka. Maka, dia diam. Mungkin ini memang hanya apes.

Sean menghampiri Airin setelah perawat menyingkir. Gadis yang duduk di  ranjang brankar itu mengangkat kepala hingga tatapan mereka bertabrakan. Beberapa luka lecet kemerahan di wajah cantik itu membuat Sean ikut meringis nyeri. Tanpa suara, Sean mengecek lengan Airin. Dengkul Airin diperban, lutut dan kakinya juga.

"Sean-"

"Udah telepon Mama?" Sean memotong. Dia tahu Airin pasti mau minta maaf. Entah kenapa Airin selalu melakukan itu setiap kali membuatnya khawatir.

Airin menggeleng pelan, kemudian menunduk. "Aku takut Mama khawatir," ujarnya lemah. Sean mengangguk. Nanti dia saja yang mengatakannya pada orangtua Airin.

Airin menunduk dalam. Menatap kaki putihnya yang menggantung di atas ranjang. Matanya merah. Lantai putih di bawah sana menjadi fokusnya daripada wajah Sean yang tepat berada di atasnya. Dia tidak memikirkan wajahnya yang sekarang luka dan jadi tidak cantik lagi. Dia tidak memikirkan kepalanya yang nyeri karena terbentur. Tapi, memikirkan hal lain. Hal yang membuat matanya semakin merah.

Asean sadar ada yang aneh dengan Airin. Pasti ada sesuatu yang telah terjadi. Maka, dia segera berlutut di lantai, tepat di depan gadis itu. Wajah sedih Airin membuatnya bingung. Ada apa sebenarnya?

"Ada yang sakit? Bilang sama dokter." Sean berujar lembut. Tangannya menyentuh tangan Airin yang lecet. Mengusapnya pelan.

Airin diam. Dia tidak mau menatap mata Sean, lebih fokus pada lantai. Hingga akhirnya ketika Sean sedikit mengangkat dagunya, Airin menyerah. Dia biarkan Sean melihat air matanya yang menggenang.

"Ada yang sakit?" Sean bertanya lagi. Dia tampak cemas. Airin tahu pria ini pasti mengebut seperti orang kesetanan untuk sampai ke sini secepat mungkin.

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now