ASEAN || 30. Lukamu Lukaku

2.7K 312 29
                                    

Setiap anak selalu menomor satukan orang tua terutama ibu di atas segalanya dalam hidup. Begitupun sebaliknya. Seorang ibu juga akan menjadikan anaknya sebagai poros tempat dunianya berpusat. Yang akan mencurahkan segala kasih sayang dan cintanya. Seolah akan mati ketika mendengar kabar bahwa anaknya tidak baik saja.

Sean juga sama seperti anak lain. Yang ingin disayang dan dinomor satukan. Dia tahu sekarang dia sudah besar, tapi apa salahnya? Dari kecil, ia nyaris tak pernah merasakan kasih sayang Mama. Mungkin pernah saat bayi, ketika otaknya masih belum mampu mengingat. Ketika dia belum bisa mengucap kata Mama Papa. Sekarang dia sudah lupa. Lupa rasanya pelukan Mama, tutur kata manisnya, atau tangis Mama ketika dia jatuh sakit.

Dari dulu, Sean selalu merasa iri. Iri pada anak lain atau bahkan saudaranya sendiri. Iri saat Krish dicium dan dibangga-banggakan ketika mendapat juara kelas atau menang lomba yang diikutinya. Iri saat Mama khawatir setengah mati saat Rendra jatuh dari sepeda. Iri saat Mama memasakkan makanan spesial untuk Kirana. Iri atas segala hal kecil yang dilakukan Mama pada saudara-saudaranya.

Kadang, ia berpikir apakah dia anak tiri? Anak pungut? Ah tidak. Ini bukan sinetron. Jelas dia lahir dari rahim Mama. Sebagian dari wajahnya milik Mama. Golongan darahnya pun sama. Lalu kenapa Mama selalu membedakannya? Ah, masalalu. Iya, masalalunya. Selain itu, karena ia beda. Beda dari saudara-saudaranya yang selalu membanggakan Mama.

Sean selalu merasa sendiri meski banyak teman. Meski celotehan Bayu dan Chendrik selalu keluar masuk telinga, meski kelakuan aneh Kai dan Chandra berseliweran di depan mata, meski Sam, Amier dan Zidan selalu menasihatinya khas kakak pada adik, meski Dion yang nyatanya pendiam selalu mengajaknya bernyanyi dan bermain musik. Semua kosong. Ada yang kurang.

Hingga akhirnya kehadiran Airin sedikit demi sedikit mulai menghapus rasa kosong itu. Pelan, ia mulai belajar cara berbicara banyak, mulai tersenyum, mulai bisa menunjukkan perasaan. Dari dulu, dia memang terbiasa blak-blakan. Tapi tidak dengan perasaannya. Ia tetap tak bisa mengikat Airin dengan sebuah status. Entah karena apa. Ia hanya memiliki alasan sendiri.

Sean belum pernah jatuh cinta. Dia takut. Takut jika dia mengikat Airin, kemudian hubungan itu tak berhasil, mereka akan saling menyakiti. Takut mereka akan saling menjauh, seperti kebanyakan orang. Mungkin ia tidak akan menjauhi Airin, tapi hati wanita yang sudah disakiti mungkinkah dapat kembali seperti semula? Sean sudah cukup dewasa untuk paham bahwa cinta adalah sebuah penyakit jiwa yang berbahaya. Maka, biar saja berjalan seperti ini adanya. Jika mereka memang berjodoh, ia percaya Tuhan akan mengikat kelingking mereka meski dengan simpul sederhana.

Ia tahu Airin sama mencintainya, sudah terlanjur jatuh. Bagaimana tidak? Bukankah wanita memang mudah luluh? Apalagi Sean sudah secara gamblang pernah mengaku suka, lantas bagaimana bisa malam Airin tidak diisi dengan kungkungan rindu mendekap jiwanya?

Sean tahu itu. Dan semakin paham ketika Airin menangis padahal Sean yang terluka. Gadis itu ikut merasakan sakit di hatinya. Seperti hari ini.

Karena hujan semakin deras, maka Sean memberikan jaket dan helmnya pada Airin. Mencegah si cantik masuk angin. Mereka melanjutkan perjalanan dengan Sean yang basah kuyup dan Airin yang terus menangis sambil mendekap erat tubuhnya dari belakang. Mengisyaratkan ikut terluka atas luka Sean.

Ketika sampai di depan kos, Sean membantu Airin melepas jaket dan helm, hingga wajah sembab gadis itu yang menyambutnya. Mata merah, penuh jejak air mata.

"Loh, kok nangis?" Sean bertanya lembut. Mengusap pelan pipi kemerah-merahan itu dengan ibu jarinya.

Tak ada jawaban, Airin langsung menghantamkan tubuhnya pada dada Sean, memeluk erat pria tinggi di hadapannya itu, tak peduli Sean basah kuyup.

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now