ASEAN || 40. Ulang Tahun

1.7K 209 11
                                    

Di sini, siapa yang tidak tahu bahwa papa Airin memang sangat menyukai Sean? Terlalu menyukai bahkan. Beliau terang-terangan berkata ingin Sean menjadi menantunya, bahkan selalu bertanya kapan Airin dan Sean jadian. Entah Airin harus senang atau malu.

Papa juga sudah menganggap Sean seperti  anak sendiri. Sering meminta Airin untuk  menghubungi Sean karena beliau ingin memastikan Sean baik-baik saja. Juga ingin membelikan apa yang Sean butuhkan. Tapi, Sean tetaplah Sean, yang selalu menolak ketika ditanya sedang butuh apa. Namun, untuk kali ini Papa Airin akhirnya punya alasan membelikan sesuatu untuk Sean, karena besok ulang tahun pemuda itu.

"Papa beliin jam tangan sama sarung buat Sean. Gak mahal sih, yang penting kan kegunannya." Papa sedang memegang sebuah kotak yang sudah dibungkus dengan kertas kado di tangannya, warna biru. Cukup membuat Airin terperangah. Dia saja belum beli kado.

"Liat dong, Pa." Airin mengulurkan tangan ke arah Papa yang duduk di sebelahnya. Papa memberikan kado itu kepada Airin. Sementara Mama tersenyum di sofa seberang.

"Niat banget ngasihnya, udah dibungkus lagi." Airin menimang-nimang kado di tangannya.

"Waktu minggu lalu kamu bilang ulang tahun Sean tinggal seminggu, Papa langsung gerak cepat dong nyari kado. Buat calon mantu ini." Papa tersenyum lebar. Mengerling pada sang istri.

"Iya dong, Pa. Mama juga beliin jaket kulit. Mama lihat Sean suka pakai jaket kulit." Mama tersenyum bangga. Sementara Airin mendesah.

"Kamu mau ngasih apa?" Papa bertanya sambil menyeruput kopi. Sementara Airin menaruh kotak kado yang di pegangnya di meja depan Papa.

"Belum tahu, ini bentar lagi mau berangkat." Dia memang sudah rapi. Baru saja pulang dari kampus, langsung makan dan siap-siap. Dia sengaja tidak langsung berangkat bersama Rendra karena Papa hari ini pulang cepat, juga takut tidak diijinkan pergi. Jadi, dia pulang ke rumah lebih dulu.

"Kamu harus ngasih yang istimewa dong. Jangan beli yang udah biasa," ujar Mama. Airin menoleh, kemudian menghela napas sekali lagi.

Iya, Ma. Udah aku kasih hati. Tapi, masih digantung. Ingin rasanya Airin bilang seperti itu.

"Terus aku harus kasih apa?"

Papa sempat diam sebentar, menyeruput kopinya lagi. Namun, segera bersuara ketika cangkir sudah ditaruh di meja. "Itu aja, Rin. Buku yang kata kamu sulit dicari itu. Kan udah Papa pesen dua. Hari ini datang."

"Buku apa sih, Pa?" tanya Mama.

"Buku kedokteran, Ma. Sean juga pasti lagi nyari, kan?"

Airin mengangguk. Namun, teringat sesuatu. "Itu kan Papa yang beliin. Airin mau kasih kado pake uang Airin."

"Ya nanti kamu bayar lah ke Papa."

Dan kemudian Airin jadi cemberut. Papa menyengir, sedangkan Mama hanya bisa tersenyum sambil geleng-geleng kepala.

"Oh ya Pa, Shinta katanya mau main ke sini." Mama mengubah topik. Menaruh majalah yang dibacanya di meja.

Papa mengalihkan pandangan dari Airin pada sang istri. "Oh ya? Kapan?"

"Kapan-kapan kalo gak sibuk katanya."

Airin diam-diam menyimak. Sejak tadi, nama Shinta sering sekali disebut-sebut dalam percakapan kedua orangtuanya. Dia sangat penasaran karena nama itu sama dengan nama mama Sean.

"Papa sama Mama ngomongin siapa sih?" tanyanya.

Mama menoleh dengan senyum. "Ini loh, Sayang. Temen kuliah Mama dulu. Namanya Shinta."

"Shinta siapa?"

"Emang kalau Mama kasih tahu, kamu kenal?"

"Istrinya almarhum Dean Baratha?"

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now