ASEAN || 25. Milikku

2.3K 312 26
                                    

Meski kakinya belum sembuh total, Asean tetap memaksa untuk bekerja. Ketika ia berkata bahwa uang gajinya sudah habis pada Kaisar, itu memang benar kenyataannya. Beruntung ibu kosnya sangat baik dan tak meminta ganti rugi atas kerusakan motornya yang dibawa Sean malam itu.

Ini sudah biasa bagi Sean. Berfoya-foya adalah hal pantang dan sangat tabu untuknya. Hemat adalah prinsipnya. Sejak hidup sendiri, ia lebih menghargai setiap lembar uang untuk tak membelanjakannya pada hal yang tak begitu dibutuhkan. Ia tahu bagaimana susahnya mendapatkan uang. Maka, ia menghargai setiap hasil keringatnya sendiri.

Sean tak pernah malu mengakui bahwa dia hanyalah waiters di sebuah kaffe. Ia juga tak malu bahwa kadang ia harus menjadi ojek hanya untuk menambah uang saku. Itu hal biasa untuknya. Puasa untuk berhemat dan hanya memakan mie instant ketika berbuka rasanya sudah nikmat.

Kita hanya perlu belajar menerima segalanya meski itu bukan hal indah bagi orang-orang di luar sana. Maka, kita akan bahagia. Itu yang selalu diterapkannya.

"Udah nyampe, Bang." Suara Tirta mengalihkan perhatian Sean yang sedari tadi hanya diam dengan mata fokus pada helm yang dikenakan Tirta.

Segera saja turun dari motor saat menyadari bahwa mereka sudah sampai tempat tujuan. Seharusnya Sean dapat mengantarkan pesanan sendiri. Tapi dikarenakan kakinya yang masih sakit, maka Tirta juga harus ikut untuk mengemudikan motor.

Sean berdiri dengan kedua tangan memegang dua plastik berisi pesanan karyawan perusahaan. Diam menatap gedung tinggi di depannya dengan tatapan datar. Sementara Tirta tengah membuka helm sambil turun dari motor.

"Sini gue aja yang anter ke dalem." Tirta hendak mengambil alih dua plastik besar di tangan kanan Sean, namun Sean segera menjauhkan tangannya.

"Terus gue ikut cuma disuruh megangin doang di atas motor gitu?"

"Kaki lo kan-"

"Gue bisa jalan kok." Sean menghela napas. Segera melangkah meski agak kesulitan. Sementara Tirta mendengus sambil geleng-geleng karena merasa Sean keras kepala sekali.

Ketika tiba di dalam, mereka berdua segera disambut dua karyawan untuk mengambil pesanan yang dibawa Sean dan Tirta.

Hingga Sean dikejutkan dengan sosok tinggi yang tiba-tiba muncul di dekat tempatnya berdiri. Menatapnya sambil memasukkan tangan di saku celana.

Itu Krish, dan Sean tak pernah lupa bahwa Krish bekerja di sini.

Sean hanya diam tak bermaksud menyapa. Ia bahkan lebih memilih tersenyum ramah pada dua karyawan di depannya.

"Mas yang rambut hitam, ikut saya." Krish segera berlalu setelah berucap yang lebih terdengar seperti perintah.

Tirta hanya diam dan menatap bingung pada Sean, karena di antara dia dan Sean, hanya Sean yang berambut hitam. Rambut Tirta masih setia pink seperti kemarin-kemarin.

Sean di sana mengalihkan pandangan pada tubuh Krish yang mulai menjauh, lalu mendengus kasar sambil merotasikan mata.

"Tunggu di motor." Setelah berucap pada Tirta, Sean mengikuti langkah Krish.

Hingga ia tiba di ruangan yang sepertinya merupakan ruang kerja kakak tirinya itu. Berdiri di dekat pintu setelah menutupnya agar tak ada yang mendengar percakapan antara mereka.

Sebenarnya ia malas untuk mengikuti kemauan Krish. Tapi, jika ia bersikap kurang ajar pada Krish, karyawan di sini pasti curiga dengan hubungan apa antara mereka berdua. Dan Sean tak mau itu terjadi.

"Cepet, gue ada kerjaan." Sean membuka percakapan duluan di saat Krish hanya berdiri membelakanginya, menatap jendela.

Krish berbalik. "Lo ngapain kerja?" Matanya menatap tak suka ke arah Sean. Tangannya masih setia di dada.

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now