ASEAN || 44. Dia

1.8K 203 34
                                    

Kelas kosong hari ini dikarenakan sang dosen tidak hadir. Di ruang kelas hanya ada Airin dan Windy, juga beberapa orang yang sepertinya sama-sama terkena PHP oleh si dosen.

Windy duduk tepat di samping Airin, terus menatap temannya itu sejak tadi. Sementara Airin menelungkupkan kepala di meja, entah tertidur atau apa.

"Rin?" Sebenarnya sudah sejak tadi Windy ingin memanggil, tapi selalu urung karena berpikir Airin sedang tidur dan tak ingin diganggu.

"Hm?" Airin menyahut dengan derhaman yang teredam di balik lipatan tangannya.

"Pulang yuk. Ga ada kelas lagi kita. Si Yuan enak tidur di rumahnya."

Akhir-akhir ini Yuan memang sering datang siang karena menghindari bertemu dengan Kaisar, cowok itu sering nongkrong di Fakultas Kedokteran pagi-pagi  untuk menemani Sean sekaligus mengantar Windy sampai kelas. Dan pagi ini, pagi yang beruntung untuk Yuan. Karena dia tidak perlu terkena PHP sang dosen.

Airin mengangkat kepala perlahan. Wajahnya merah, matanya sayu dan bibirnya pucat seperti orang kehabisan darah.

"Rin, lo sakit?" Windy terkejut. Menyentuh kening Airin, dan semakin kaget ketika merasakan tangannya seperti terbakar. Kening Airin panas sekali. "Panas banget. Lo demam, Rin." Dia sudah panik.

"Gue dingin." Airin memeluk tubuhnya sendiri.

"Ayo pulang ah." Windy bangkit. Dia memasukkan barang-barang Airin ke dalam tas gadis itu, karena sepertinya Airin sangat lemas untuk melakukannya sendiri. "Lo bisa jalan sendiri, gak?" Windy menyampirkan tas Airin di punggungnya.

"Bisa kok." Airin bangkit. Kepalanya berdenyut-denyut dan seperti berputar, tapi dia berusaha berdiri dengan benar.

"Kalo gak bisa, gue telepon Bang Kaisar biar jemput ke sini."

"Jangan ah, kasihan. Dia ada kelas."

"Atau Chandra aja?"

"Jangan juga. Gue bisa jalan kok."

"Terus pulangnya?"

"Grab."

"Apa-apaan!" Windy berseru tidak setuju. "Gak. Harus pulang sama orang yang gue percaya."

"Udah ah, jangan marah dulu. Gue pusing." Airin memegang pelipisnya, rasanya mau pecah.

Windy mengalah, dia menghela napas. "Ya udah ayo." Dia membantu Airin berjalan. Keluar dari ruang kelas.

Saat di koridor, Airin meminta berjalan sendiri. Dia meyakinkan Windy bahwa dia masih sanggup berjalan tanpa dibopong. Windy menurutinya. Airin memang mampu berjalan dengan benar. Namun ketika rasa pusing kembali menyerangnya, dia kembali oleng, dan menabrak seseorang.

"RIN!" Windy sudah menjerit. Namun, ketakutannya hilang saat melihat siapa sosok yang menangkap Airin di sana.

Dia Sean.

Pria itu membantu Airin untuk berdiri tegak. Sekejap kemudian, dengan santai melanjutkan langkah kembali tanpa suara. Windy kembali memegang lengan Airin dengan wajah khawatirnya. Tak peduli pada sosok Sean yang mulai menjauh.

"Ngeyel sih dibilangin."

Airin tak menjawab. Dia sempat merasa baik-baik saja saat tadi tubuhnya berada di dekapan Sean, namun kini rasa sakit yang menghantam kepala dan dingin menusuk tubuhnya kembali menyerang.

"Ayo." Windy membopong Airin menuruni tangga perlahan-lahan. Agak kesulitan. Dua tas dipunggungnya sedikit menyulitkannya.

Sementara tak jauh dari sana, Sean melangkah sangat pelan. Matanya lurus menatap lantai. Hingga teriakan Windy yang menyerukan nama Airin dari arah tangga membuat tubuhnya kembali memutar balik. Segera berlari menghampiri asal suara.

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now