ASEAN || 35. Sahabat

1.8K 206 14
                                    

Awalnya, Rendra merasa percakapannya dengan Airin begitu santai sambil sesekali tertawa. Melangkah di koridor rumah sakit sambil saling bercerita tentang kesukaan Airin, apa yang tidak disukainya, bagaimana kuliahnya dan semacamnya. Namun disela tawa kecil mereka, entah ada angin apa, gadis itu mendadak kaku tidak dapat melanjutkan langkah.

Rendra pikir, tali sepatu Airin lepas, ponselnya berbunyi, ada yang ketinggalan, atau apapun itu. Maka Rendra membiarkannya. Namun, hingga ketika Rendra menegur, Airin malah berbalik, kemudian mengambil langkah panjang untuk menjauh dari sana.

Rendra tidak sempat berpikir alasannya apa, dia hanya langsung mengikuti langkah Airin dari belakang sambil sesekali memanggil. Namun, gadis itu tetap berjalan lurus tidak menjawabnya sama sekali. Hingga sekarang, mereka duduk berdua di kafeteria rumah sakit dengan keheningan.

Tidak ada yang buka suara. Rendra tidak berani bertanya mengapa Airin mendadak sependiam ini, atau alasan apa yang membuat wajah Airin menjadi demikian bersedih? Gadis itu hanya duduk diam menatap lurus ke arah lantai.

Tangan Rendra terulur menyentuh lengan Airin, dan gadis itu akhirnya mengangkat kepala untuk menatapnya. Rendra tersenyum, dia tidak tahu bagaimana caranya bertanya agar tak terkesan ikut campur. Tapi, dia penasaran.

"Laper ya?" Rendra menyengir. Memang Airin yang tiba-tiba masuk ke kafeteria dan duduk di sini, hingga membuat Rendra berpikir apakah selapar itu hingga Airin bahkan tidak sempat memberi tahunya lebih dulu?

Airin sempat diam sebelum akhirnya mengeluarkan kekehan lirih. Cukup membuat Rendra bernapas lega telah lepas dari keanehan tadi.

"Iya, laper." Gadis itu menyengir. Menggaruk belakang kepalanya sendiri yang tidak gatal.

"Pantes pucet."

"Iya, pusing dikit." Airin mengusap keningnya sendiri seolah mengelap keringat. Sebetulnya dia hanya menyembunyikan apa yang dilihatnya dari Rendra.

Rendra mendadak memajukan tubuh, membuat Airin reflek memundurkan tubuhnya. Pria itu mengulurkan tangan untuk menyentuh kening Airin, namun Airin menjauh.

"Gak apa-apa kok." Airin menggeleng, menolak halus ketika Rendra hendak mengecek suhu tubuhnya, tersenyum berusaha meyakinkan bahwa dia baik-baik saja. Iya, tubuhnya baik-baik saja, tapi ada bagian yang retak di hatinya.

"Soalnya kamu pucet." Rendra tidak memaksa. Dia akhirnya menaruh tangannya lagi di meja.

"Gak, gak apa-apa kok. Cuma laper aja." Dan Airin kembali menyengir canggung.

"Emang mau makan di sini?"

"Ha?"

"Kalo mau keluar, ayo. Takutnya kamu gak suka menu di sini."

"Tapi, kakak kamu…"

"Istrinya Kak Krish kayanya bentar lagi nyampe."

Bukan sebentar lagi, Ren. Egitha sudah sampai, dan sekarang entah melakukan apa dengan Sean. Masihkah berpelukan atau tidak Airin tidak ingin mengingatnya.

"Mau makan di luar?" tawar Rendra lagi. Airin sempat diam, tapi jika dipikir-pikir mungkin lebih baik dia ikut Rendra keluar sebentar. Toh, Egitha masih di sini. Dia tidak ingin mengambil resiko wanita itu menyerangnya lagi. Bagaimanapun, Egitha pasti masih benci padanya, apalagi melihat keadaan Krishna sekarang. Wanita itu pasti menyalahkannya.

"Iya deh."

Rendra tersenyum senang. "Ayo." Dia segera bangkit. Melangkah duluan di depan, sementara Airin mengekor di belakangnya.

Yang Airin pikirkan sekarang adalah, apakah Sean ada rasa pada Egitha atau apakah Egitha masih ada rasa pada Sean?

🌹🌹🌹

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now