ASEAN || 31. Demam

2.1K 217 4
                                    

Sepertinya akibat dari tidak mau mendengarkan ucapan Sean, berdampak buruk bagi Airin. Ia yang keukeuh tidak mau ganti baju meski kehujanan, sekarang merasakan sendiri akibatnya. Airin masih ingat bahwa ia sendiri yang mengatakan dirinya bukan gadis selemah itu. Bahkan, ia yang menakut-nakuti Sean bahwa pria itu yang akan akan jatuh sakit. Sekarang keadaan terbalik.

Semalam ia masih memangku kepala Sean. Membiarkan pria itu terlelap ditengah elusan lembut jari-jemari dan senandung merdunya. Hingga akhirnya Airin ikut terlelap, kemudian terbangun saat Sean berbisik pelan di telinganya bahwa hujan sudah reda. Saatnya pulang.

Dan hari ini, ketika membuka mata pertama kali, Airin merasakan ada yang aneh dengan tubuhnya. Lantas menutup mata kembali. Badannya terasa lemas dan panas. Matanya pun terasa berat dan sulit sekali untuk dibuka. Ada sesuatu di atas kepalanya, terasa dingin. Bising terdengar. Nah, nada cerewet itu suara Mama.

"Dia memang suka ngeyel kalo dibilangin." Masih seperti hari-hari sebelumnya. Ngeyel kata Mama. Airin sudah hapal dengan kata-kata itu.

Pelan, ia kembali memaksa matanya untuk terbuka sepenuhnya. Sulit, seluruh tubuhnya tak bertenaga. Tenggorokannya panas, rasanya pahit saat menelan ludah. Ah, dia terserang demam.

"Kalo dibilangin tuh ya nurut. Giliran demam gini gimana? Untung kamu gak ada jadwal kuliah hari ini." Mama masih dengan celoteh khasnya. Pikir Airin, memang kalau ada jadwal kuliah, apakah dia harus masuk dengan keadaan sakit? Yang benar saja. Samar, ia dapat melihat Mama bolak-balik menaruh pakaian dari atas ranjang ke dalam lemari. Masih dengan bibir berkomat-kamit menasihati. Sedangkan Airin masih berusaha mengumpulkan nyawa.

Dingin di atas kepalanya mendadak tak terasa. Ada yang mengangkat handuk berisi es batu di atas kepalanya. Tunggu, bukankah Mama ada di depan lemari? Lalu tangan siapa yang ada di keningnya ini? Mengecek suhu tubuh. Bahkan, sekarang turun mengelus pipinya.

Airin menolehkan kepalanya ke samping. Butuh beberapa detik untuk membuat sosok di samping ranjang agar terlihat jelas di matanya yang mendadak buram. Kemudian terkejut saat melihat siapa yang kini tersenyum ke arahnya tersebut.

"Ada yang sakit?" Sean menopang dagu. Menatap Airin dengan fokusnya pada bola mata gadis di depannya. Bola mata yang terlihat sayu karena demam yang melandanya semalaman.

Rania menutup lemari. Merasa putrinya tak perlu diceramahi lagi, ia tersenyum kilas melihat Sean yang terlihat begitu menggemaskan ketika bertanya pada Airin, lalu memilih segera pergi. Takut mengganggu. Mengambil bubur dan obat saja untuk putrinya.

Melihat Mama sudah keluar, Airin membuka bibir. "Kamu kok-HACCIM!" Baru saja ia ingin bertanya, hidungnya yang mendadak gatal tak dapat dihindari. Bersin. Ludahnya menghambur tepat ke wajah Sean. Membuat kelopak mata pria itu reflek tertutup agar tak kelilipan. Namun tidak dengan wajah tampannya. Basah.

Airin mengusap hidungnya hingga memerah. Kemudian menatap ngeri saat melihat wajah Sean. "Ya Allah!" Dia menutup mulut. Kaget dan merasa bersalah. Segera bangkit hendak menyentuh wajah Sean. "Se-"

"Haha." Tawa kecil Sean membuat Airin jadi terdiam di tempat. Urung menyentuh pipi Asean yang basah oleh air liurnya. Justru Sean mengarahkan tangannya sendiri untuk mengusap wajah.

"Kok kamu… ketawa?" Airin bertanya bingung. Merasa tak ada yang lucu. Justru Sean tadi tampak seperti terkena semburan Mbah Dukun.

Sean masih dengan senyum di bibir. Kekehan pelannya masih mengalun merdu. "Mau ngaca gak? Kamu lucu loh." Entah ini pengalihan topik agar Airin tak merasa bersalah atau apa.

Bibir Airin mendadak maju tiga centi. "Bilang aja aku jelek. Gak usah ngejek. Pake nyindir bilang lucu segala. Aku bukan badut." Ia jadi merajuk. Menatap sebal ke arah Sean. Sementara pemuda yang ditatap tak gentar. Masih setia dengan senyum di wajah tampannya.

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now