ASEAN || 45. Luruh

2.1K 232 54
                                    

Mobil hitam yang dikemudikan Sean berhenti tepat di pinggir jalan ketika mamanya menyuruhnya berhenti. Selama perjalanan tidak ada suara. Selalu seperti ini. Memang sejak kapan mamanya mau terlibat percakapan dengannya?

Sean melihat ke luar kaca mobil. Dari sini dia dapat melihat toko perhiasan yang dituju ada di seberang jalan, tapi mamanya memilih untuk turun di sini.

"Kamu gak usah ikut," ujar Mama. Masihlah sama, Mama tidak pernah ingin terlihat bersama dengan Sean.

Wanita itu turun dari mobil. Sean diam di kursi kemudi dengan tangan masih memegang stir. Matanya melirik ke arah Mama yang tengah menyebrang, beberapa saat kemudian menghilang dari pandangannya.

Dia menghela napas, menyandarkan punggungnya ke jok, merasa dejavu. Tadi malam, dia juga mengantarkan mamanya ke rumah Airin. Disuruh menunggu, sementara di dalam sama mamanya melamar gadis yang dicintainya untuk lelaki lain, adiknya sendiri.

Dan sekarang, hatinya tak tenang, pikirannya berkecamuk. Setelah melihat Airin tidak baik-baik saja tadi pagi, dia tidak bisa berhenti untuk tidak mencemaskan gadis itu. Airin sakit, dan dia ingin menemaninya. Tapi bagaimana caranya? Dia merasa tak pantas setelah apa yang dilakukannya pada Airin.

Airin pasti kecewa, bahkan mungkin sangat  membencinya. Lihat saja, bahkan Airin seolah jijik ketika tak sengaja mata mereka bersitatap. Dan sekarang Sean membenci dirinya sendiri.

Mata Sean melirik lengannya sendiri yang tertutupi jaket. Menutup luka-luka yang ia buat sendiri. Sampai kapan? Sampai kapan dirinya melukai diri sendiri seperti ini? Sementara dia tidak menemukan pelampiasan lain.

Sean pikir dia sudah sembuh. Dia pikir dia sudah mampu menghadapi semuanya. Dia pikir dia sudah sangat kuat hingga tidak akan terluka lagi. Dia pikir dia sudah bisa menerima sepenuhnya meski tanpa kata damai dengan Mama. Tapi, tidak. Dia tidak sekuat itu.

Selama ini dia hanya berusaha bertahan, entah sampai kapan, tapi dia belum menemukan obat yang permanen, hingga sewaktu-waktu bisa kambuh, menyakitinya lagi. Sepertinya hatinya tidak akan pernah menerima jika damai belum terealisasikan. Karena setiap luka tak menjamin akan hilang sepenuhnya. Ada yang kering, membekas, perlahan samar. Namun ada juga yang kering, kembali bernanah, dan menjadi luka yang lebih parah.

Menit-menit berlalu, entah sudah berapa lama yang dia habiskan dengan duduk melamun di dalam mobil. Setengah jam? Satu jam? Atau bahkan lebih. Mamanya tak kunjung kembali. Sean sangat ingat wajah Mama cerah sekali ketika mengatakan pada Egitha bahwa dia harus memilih cincin pertunangan yang paling bagus untuk anaknya. Dan lagi-lagi, Sean terluka.

Tapi bukan itu yang terpenting, yang menjadi masalah kali ini adalah Airin. Sean ingin menemui gadis itu, sangat. Bayangan ketika Airin terjatuh di anak tangga, suhu badannya yang panas, wajahnya yang pucat. Sean mati-matian menahan diri untuk tak menginjak pedal gas membawa mobil ini melaju menuju rumah Airin saat ini juga.

Dia mengusap wajah kasar sambil mendesah lelah. Segera turun dari mobil untuk mencari angin. Dia berdiri di luar mobil sambil melihat sekitar. Kendaraan yang berlalu lalang malah semakin membuatnya pusing.

Di kejauhan, mamanya keluar dari toko dengan wajah cerah, bahkan Sean dapat melihat binar itu dari jarak lumayan jauh. Sean menarik bibir secara samar. Keski senyum mama bukan untuknya, tapi dia selalu suka senyum mama, tapi mama tidak suka senyumnya.

Wanita itu melangkah sambil menempelkan ponsel di telinga. Berbicara dengan penuh semangat dan ceria. Dia menyebrang tanpa melihat kanan dan kiri jalan saking asiknya. Tak sadar ada mobil melaju kencang tepat ke arahnya.

"MAMA!" Sean berteriak histeris, tapi wanita itu sepertinya tidak mendengar. Detik itu juga Sean berlari ke tengah jalan, mendorong mama hingga wanita itu tersungkur jatuh di tepi jalan dengan keadaan syok bukan main.

ASEAN (TELAH TERBIT)Where stories live. Discover now