18 : Different | Jisung×Rosé

606 48 1
                                    

Rosé menangis di depan seorang lelaki yang beberapa tahun ini selalu ada dalam pikirannya. Yang ditangisi hanya diam, menatap gadis yang paling ia sayang tersakiti di hadapannya.

"Kenapa kau tak mengatakan apapun? Aku merindukanmu, tidakkah kau merindukanku?" tanya Rosé.

"Tentu. Tentu aku merindukanmu. Merindukanmu lebih dari segalanya," jawab lelaki itu, Jisung.

"Kemana saja kau lima tahun ini? Aku merindukanmu. Sangat merindukanmu."

"Rosé..." Jisung memanggil nama wanitanya. "Apa kau mengalami banyak hal menyakitkan setelah aku pergi?"

"Ya. Banyak. Sangat banyak."

"Kau kesulitan, bukan?" Jisung yang sedari tadi berdiri akhirnya duduk di depan Rosé.

Gadis itu mengangguk dengan wajah polos. Sangat lucu. "Sangat kesulitan karena tak adanya dirimu."

Jisung tersenyum. Ia ingin membelai rambut Rosé, tapi itu akan semakin menyakitkan untuknya. "Kau wanita kuat. Kau pasti bisa tanpa aku."

"Eung, aniya. Aku sungguh kesulitan." Rosé menggeleng sambil mengerucutkan bibirnya. "Aku sungguh tak bisa tegar tanpamu. Ah, sudahlah. Yang paling penting kau sudah ada di sini, menemaniku. Benar, bukan?"

Jisung hanya tersenyum.

"Kemana saja kau lima tahun ini, Jisung? Apa kau sudah bekerja? Kau masih tetap menjaga hatimu untukku, bukan?" tanya Rosé.

"Tentu aku masih menjaga hatiku untukmu. Aku ditakdirkan untuk mencintaimu. Tapi--"

"--kau tak berubah, Jisung. Kau masih sama manisnya dengan dulu. Boleh aku memelukmu?" Rosé bertanya dengan nada bahagia.

"Rosé..." Jisung melirih lagi.

"Kenapa? Ada yang salah?" Rosé menatap mata Jisung. Di sana tersirat rasa rindu yang mendalam, juga rasa bersalah. Rosé melihatnya. "Kenapa, Jisung-ah?"

"Aku--"

"--kau akan meninggalkanku lagi?" Rosé bertanya dengan nada bergetar. Ia sudah siap menangis jika jawaban Jisung adalah 'iya'.

"Aku.. aku sebenarnya tak bisa, tapi aku harus," jawab Jisung. Jawabannya memang bukan 'iya', tapi itu adalah cara lainnya untuk menyatakan bahwa ia memang akan pergi.

"Si-siapa yang menyuruhmu? Siapa yang menyuruhmu pergi dan meninggalkanku?! Aku akan membunuhnya!" Rosé hendak beranjak.

"Rosé~ya. Tenanglah, aku akan menjelaskan segalanya."

"Bagaimana bisa tenang jika ada orang yang ingin merebutmu dariku?!"

"Rosé~ya, aku ini tak nyata."

"A-apa maksudmu? Kau nyata, Jisung. Apa yang terjadi denganmu?"

"Rosé," panggil Jisung, "aku rasa kau melupakan kejadian lima tahun silam, tepat sebelum aku meninggalkanmu begitu lama."

"Memang apa yang terjadi? Aku hanya tahu aku koma dan tiga tahun yang lalu baru bangun. Saat aku bangun, kau sudah hilang dan orang-orang tak mau memberitahu aku kemana perginya dirimu. Hanya saja orang bilang kau sudah meninggalkanku dua tahun yang lalu. Saat itu aku membencimu. Tapi sekarang tidak, karena aku begitu merindukanmu."

"Kau koma karena aku, Rosé."

"Apa yang kau katakan, Jisung-ah? Aku tak mengerti."

"Saat malam Minggu, aku mengajakmu keluar. Padahal hari itu hujan dan aku tetap mengajakmu keluar. Jalanan licin dan aku mengemudi terlalu cepat. Lalu ada sebuah truk yang melaju--"

"--ah! Jisung! Kepalaku sakit!" Rosé memegangi kepalanya.

"Jangan mengingat apapun. Cukup dengarkan ceritaku."

"Aku--aku tak bisa. Ini terlalu sakit."

"Rosé, tenangkan dirimu."

Rosé menurut. Ia mengambil nafas, kemudian menghembuskannya secara perlahan. Pelan-pelan, rasa pening di kepalanya mulai menghilang.

"Kita tertubruk truk dan kau terpental. Itu membuatmu koma selama dua tahun. Kau bahkan melupakan segala kejadian di masa lalu karena kepalamu membentur aspal saat itu. Kau masih diselamatkan."

"Lalu.. kau?"

"Aku sudah pergi, Rosé. Aku sudah tak ada di bumi sekarang."

"La-lalu kenapa kau ada di bumi sekarang?! Jisung! Jangan bercanda!"

"Aku tak bercanda. Aku memang sungguh sudah tiada. Aku sudah kembali pada Tuhan, hanya saja arwahku masih terjebak di antara bumi dan alam baka karena aku tak bisa memaafkan diriku atas kecelakaanmu saat itu. Hari ini mereka mengijinkanku menemuimu dan aku menggunakannya untuk menemuimu, meminta maaf padamu."

"Jisung, jangan berbohong!"

"Aku memang sudah mati, Rosé! Sentuh aku! Sentuh aku! Peluk aku atau pukul aku! Kau tak akan bisa melakukannya!"

Rosé memukul Jisung, namun kenyataannya hanyalah tangannya yang memukul udara kamar. Jisung benar-benar sudah pergi. Rosé menunduk, memeluk lututnya, kemudian menangis lagi.

"Kita sudah berbeda dunia. Tapi ucapanku tentang perasaanku padamu tadi adalah kebenaran. Aku masih menjaga hatiku untukmu. Karena memang Tuhan menakdirkanku untuk mencintaimu. Aku di sini, Rosé, menemuimu untuk yang terakhir kalinya."

Rosè masih menunduk, tapi telinganya mendengarkan semua ucapan Jisung. Hatinya teriris setiap mendengar satu kata keluar dari mulut kekasihnya. Kenapa disaat Rosé sudah bisa melepas rindunya, ia juga harus menamai situasi ini sebagai pertemuan terakgir keduanya?

"Rosé," panggil Jisung, "jangan menangis."

Jisung mengusap wajahnya kasar. Ia tahu, Rosé akan merasa nyaman saat seseorang memeluknya ketika dirinya menangis. Mengingat itu, Jisung jadi kembali ditampar kenyataan bahwa dunia mereka sudah berbeda.

"Aku ingin memelukmu, tapi tak bisa karena dunia kita sudah berbeda. Jadi, aku hanya bisa mengatakanmu agar kau tak menangis."

Rosé diam, masih menangis. Meratapi kebodohan dirinya karena melupakan tragedi yang membuat Jisung tiba-tiba hilang dari hidupnya. Bukan hanya Jisung sebenarnya, karena setengah memori Rosé juga hilang.

"Ini pertemuan terakgir kita, aku akan segera pergi." Jisung mengatakan itu, kemudian perlahan tubuhnya mulai menghilang. "Aku mencintaimu. Akan tetap mencintaimu meskipun dunia kita berbeda. Aku menya--"

Belum sempat Jisung melanjutkan perkataannya, Tuhan sudah menghapuskan jejaknya dari bumi. Tapi Rosé menangkap apa yang akan Jisung katakan. Jisung menyayanginya, akan selalu menyayanginya meskipun mereka tak bisa bersama.

Malam itu, Rosé terduduk di tempat yang sama saat bertemu Jisung. Gadis itu memeluk lututnya, menangis di sana. Mungkin mulai sekarang ia ditemani sepi.

Pertemuannya dengan Jisung tadi membuat Rosé harus sakit lebih dalam lagi. Selama ini ia hidup dengan harapan bertemu Jisung. Tapi tadi adalah pertemuan terakhir keduanya, membuat Rosé sadar ia tak lagi bisa berharap bertemu Jisung. Karena selama apapun Rosé berharap, Tuhan tak akan mengabulkannya. Namun, meskipun dunia keduanya sudah berbeda, Rosé akan selalu mendoakan Jisung di sini. Sedangkan di sana, Jisung akan terus mengamati Rosé, berharap gadis itu mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik daripada dirinya.

Jinyoung dan Lisa mungkin tak bisa bersama karena berbeda agama. Tapi mereka masih berpijak pada bumi yang sama. Namun Jisung dan Rosé lebih menyakitkan lagi. Karena mereka harus saling mencintai dari dua alam yang berbeda.







●●●

Tolong ini nyesek banget

Wanna One × Blackpink FictionWhere stories live. Discover now