~Chapter 10~

173 17 4
                                    

Grey melihat sekilas kelas Vox saat istirahat dan ia tak menemukan keberadaan Vox. Mejanya kosong tanpa ada tas Vox disana, hanya terlihat Hani dengan beberapa murid yang memilih di dalam kelas.

Segenap rasa khawatir muncul, apalagi ketika ia ingat kalau Vox tak bisa makan tanpa disuapi. Ia mondar - mandir didepan kelas Vox bingung atas apa yang harus ia lakukan. Belum lagi, rasa malu atas kejadian kemarin membuatnya semakin bimbang.

"Peduli apa gue sama sih cebol, toh di rumah dia ada ayahnya kan. Gue gak perlu harus khawatir."

Ia kembali ke kelasnya setelah memutuskan bahwa Vox akan baik - baik saja dan ia yakin ini adalah keputusana yang tepat. Toh Vox hanya sekadar flu itu yang dipikirannya sekarang.

----

"Kok gue malah ke rumahnya dia sih?" Tanya nya kesal ke dirinya sendiri. Tanpa sadar, motornya ia lajukan ke rumah Vox dan ia sudah disana sekarang.

"Sebaiknya gue pulang aja."

Belum sempat Grey menjalankan motornya, ia mleihat keadaan rumah Vox. Terasa sunyi dan hampa seperti tak ditinggali, akhirnya setelah perdebatan panjang dengan hatinya. Ia masuk ke dalam rumah Vox yang memang tak dikunci.

"Nih anak kalau ada pencuri gimana? Malah gak dikunci lagi," ucap Grey kesal. Ia sudah beberapa kali mengingatkan Vox untuk mengunci rumahnya yang memang sengaja tidak ditampilkan disini.

Ia merasa sangat khawatir sekarang, apalagi setelah melihat keadaan rumah Vox yang tidak ada tanda kehidupan disana. Ia berusaha mencari kamar Vox yang dengan mudah ia temukan sebab ada papan namanya tergantung di depan pintu.

Ia membuka pintu perlahan dan melihat Vox yang asik santai memakan popcorn sambil menonton TV. Vox menoleh ke asal pintu dan hampir saja menjatuhkan popcorn yang dia pegang. Mulutnya berhenti mengunyah dan hampir membuatnya tersedak.

"Gue kira lo Hani," ucap Vox dalam keadaan terkejut.

"Seharusnya gue tau, datang kesini adalah hal yang percuma," ucap Grey kesal. Bagaimana tidak? Ia sudah merasa khawatir, eh orang yang dikhawatirkan malah asik santai diatas kasur empuk.

"Lo kok bisa disini?"

"Ya bisa aja lah, namanya juga manusia dan gue punya motor."

"Gak usah nge-gas dong! Gue kan cuma nanya, tercyduk aja gitu loh ngelihat seorang Grey menjenguk cewek."

"Lo baik - baik aja kan? Gue pulang aja ya," ucap Grey dengan dongkol. Dia sangat menyesal sekarang mengikuti insting hatinya.

"Eh! Jangan dulu, beruntung lo datang di waktu yang tepat. Bisa gak lo bikin makanan buat gue, gue gak bisa masak," ucap Vox dengan cengiran memohon berharap Grey akan membuatkannya. Jarang - jarang, ia bisa memanfaatkan Grey.

"Aishhh, lo nyusahin amat sih. Oh iya, kata lo, ayah lo udah pulang, ayah lo dimana?"

"Lo mau minta restu ke papa gue ya. Gue gak tau kalau lo secepat ini mau ngelamar gue," ucap Vox dengan pedenya dan tentu saja Grey langsung menjitak kepala Vox agar Vox sadar dari dunia mimpinya.

"Mohon berpikir jernih sedikit, masa tiba - tiba gue masak di sini yang bukan rumah gue, dikira gue maling. Gue juga harus minta izin sama ayah lo kalau gue disini."

"Oh gitu, kirain. Ayah gue barusan pergi kerja, lo bisa bebas kok disini anggap rumah sendiri aja toh cuma kita berdua doang disini."

Grey langsung menjitak Vox sekali lagi membuat Vox mengaduh kesakitan, "Jangan ngomong kayak gitu ke gue, gue itu tetap orang asing buat lo. Gue ini cowok, untung aja gue cowok baik - baik. Lah kalau cowok itu punya niat jahat sama lo gimana?"

"Ohhhhhh, lo khawatir banget sih. Kan gue gemes."

"Nyesel gue ngomong panjang lebar, gue buat makanan dulu," ucap Grey setelah memutar bola matanya. Ia ke lantai bawah yang sempat ia lihat ada dapurnya. Ia mengambil beberapa bahan dari kulkas dan panci.

Ia memotong beberapa bahan dan memanaskan nasi hingga cair seperti bubur. Setelah beberapa menit kemudian, bubur ayam wortel yang biasa ia hidangkan untuk adiknya pun jadi. Tak lupa mengambil segelas air putih dan membawanya ke kamar Vox menggunakan nampan.

Ia menaruk nampan itu tepat di meja samping Vox tapi, yang membuatnya heran adalah Vox yang seperti menahan ketawa.

"Lo kerasukan?" Tanya Grey nusuk membuat Vox langsung cemberut.

"Tega banget sih ngomong pacar sendiri kerasukan. Gue mau ketawa ngelihat lo pakek celemek gitu, cocok banget sama lo."

Grey langsung melepas celemeknya, ia sempat lupa belum melepas celemek nya itu.

"Kalau lo mau ketawa ya ketawa aja, toh itu hak lo buat ketawa."

"Gak jadi deh, kan gak baik ketawain pacar gue sendiri. Lo nyuapin gue lagi kan?"

"Jangan harap, lo udah baikan sekarang. Jangan manja, kalau gak ada gue gimana?"

"Entah kenapa omongan lo malah bikin gue baper. Eh Dodol, gue tau lo udah ngelarang gue buat suka sama lo tapi, kalau misalnya gue terlanjut suka sama lo, apa yang bakal lo lakuin?"

Grey langsung menatap tajam Vox setelah mendengar pertanyaan itu, ia menghela nafas kasar sambil mengaduk bubur buatannya.

"Kalau gitu, sori, gue terpaksa ninggalin lo agar lo tau kalau lo emang gak diinginkan," ucap Grey pelan. Ia sebenarnya agak takut kalau perkataannya menyinggung tapi, ia lebih baik jujur daripada terus berbohong walau didalam dirinya pun juga ragu. Jika ia suka sama Vox, apa yang akan dia lakukan.

"Oh! Eh, siniin napa buburnya, gue udah laper tau," ucap Vox mengambil bubur itu dnegan paksa. Ia langsung mengalihkan pandangannya menuju TV berharap keadaan menjadi tidak canggung. Ia sudah cukup tau kalau perasaannya tak mungkin terbalas tapi, ia boleh berharap kan?

"Gue boleh pulang sekarang kan?"

"Lo kayaknya mau kabur ya, silahkan aja toh gue bukan sapa - sapa lo yang berhak nahan lo disini. Btw, thx buburnya, lainkali gue bakal belajar masak biar gak ngerepotin lo."

Grey dengan ragu akhirnya berdiri, ia melihat Vox yang terfokus dengan acara TV nya. Disisi lain, ia masih khawatir tapi, disisi lain, ia tau kalau ia masih disini, keadaan akan menjadi lebih canggung.

"Gue pergi dulu, jaga diri lo baik -baik," ucap Grey langsung keluar tanpa berbalik melihat Vox.

Vox langsung menhentikkan makannya setelah Grey keluar dari kamar, air mata yang ia bendung pun keluar. Ia seharusnya tau kalau Grey memang tak menginginkannya, ia harusnya tau untuk tidak berjalan terlalu jauh, ia harusnya tau.

"Ternyata rasa sakitnya kayak begini ya, tau gitu gue gak mau ngejalaninya dari awal," ucapnya sambil mengusap air mata.

Tiba - tiba, HP nya berbunyi menandakan notif yang muncul di layar kaca HP. Ia melihat sekilas dan tersenyum malu membacanya, mungkin suatu harapan. Ia menaruk buburnya ke samping mejanya lalu tidur berbaring sambil memeluk HP nya dan tak lama kemudian ia tertidur.

---
From: Grey
GWS, Cebol❤️

VoxGreyOnde histórias criam vida. Descubra agora