11 : Flashback (Part 2)

15.4K 1.4K 36
                                    

A/ N : hai. Gue bakal hiatus dalam beberapa hari. Mungkin ini part sebelum gue berhiatus. I hope you enjoy it. Maaf kalau mengecewakan. Sejujurnya gue gak pede ngepost part ini. Sori kalau banyak narasi atau kata-kata puitis tapi failed. Boam deh.

Gue bikin part ini disaat otak gue lagi mentok. Gue berharap kalian memakluminya. Dan kalau ada typo, di komen yak. Soalnya gue gak ngecek part ini lagi. Biasa lagi males. Gue banyak bacot keydeh. 

Dan terakhir. MOHON MAAF LAHIR BATIN SEMUA. Maaf kalau cerita gue gak sesuai dengan harapan kalian atau whatev. Gue berterimakasih sangat dengan kalian yang menyukai cerita gue. Wakss. okedeh. Selamat menjalani puasa terakhir kalian!

Enjoy~

---------------------

Aku mengerang pelan, mencoba membuka pejaman mata secara perlahan. Cahaya yang terang langsung memasuki pupil mataku membuatku mengerjapkannya terus menerus. Hal pertama yang kulihat ada suasana putih juga bau obat-obatan yang menusuk indra penciumanku.

Satu fakta yang kuketaui, aku berada di rumah sakit.

Mataku menangkap figur dua orang yang kutebak ada orang tuaku. Dan disamping mereka terdapat Gaea yang terpekik girang saat menyadari aku telah terbangun.

"Ma...,"panggilku dengan sisa-sisa tenaga yang kumiliki.

"Caryn?! Pa, cepet panggil dokter!"seru Mama panik.

Mama langsung beringsut ke arahku lalu menggenggam tanganku erat begitu juga dengan Gaea. Dia memegang tanganku yang bebas dari genggaman tangan Mama.

"Pa gak usah panggil dokter,"kataku nyaris berbisik. Namun karena suasana ruangan yang memang sepi, suaraku yang pelan dapat terdengar oleh Papa.

Papa menghentikan langkahnya lalu berbalik menghampiriku.

"Ya, sori ya selama ini gue gak kasih tau lo kalau gue ngidap penyakit kanker. Gue cuman gak mau buat lo khawatir. Maafin gue ya, Gaea,"ucapku memandang Gaea lamat-lamat.

Gaea menggeleng kepalanya kuat-kuat. Dia berusaha untuk tegar namun aku dapat menangkap sorot kesenduan dari matanya.

"Gak papa Ryn. Justru harusnya gue yang minta maaf sama lo," Ada jeda sebentar dari kalimatnya, "karna gue gak bisa jadi temen baik buat lo," Barulah saat ini tangisannya pecah.

Aku tersenyum menenangkan lalu mengusap tangannya dengan lembut. Pertahananku runtuh dengan mudahnya. Buliran air hangat menetes di pelupuk mata sebelah kiri.

Tangisan sarat akan kesakitan. Hal yang paling kubenci melihat orang yang disayangi menangis karena diriku.

Mataku beralih pada orang tuaku yang sedari tadi menonton pemandangan melankolis. Aku tersenyum disaat mereka menangis.

"Ma, Pa, Ceryn sayang kalian. Tolong jangan nangis, Ceryn jadi merasa bersalah,"ungkapku menatap mereka bergantian.

Mereka pun menghapus tetesan air matanya dengan kasar dan mengganti air mata itu dengan senyuman yang terukir. Senyuman miris lebih tepatnya.

Aku menatap langit-langit. Mencoba memejamkan mata secara perlahan dan mengukir senyuman penuh ketenangan.

Elektrokardiogram mulai menunjukkan garis lurus. Seisi ruangan mulai heboh dengan jerit tangisan. Dokter masuk mencoba menanganiku.

Namun pada akhirnya aku hanya mendengar kalimat pasrah yang mengatakan kalau aku sudah meninggal.

Anehnya aku masih bisa melihat kejadian itu di sudut ruangan. Mengernyitkan dahi heran saat melihat aku terpisah dengan tubuhku. Terkejut saat melihat diriku tranparan.

FarewellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang