[17] Real Nightmare

7.6K 625 28
                                    


Aku melihat pantai dari balkon kamar sementaraku di villa milik Aldo sambil memegang secangkir cokelat panas. Musim panas di pantai dengan cokelat panas adalah pilihan buruk, tapi tidak untukku. Aku menyukainya.

Tiba-tiba ada sepasang tangan yang menghalangi penglihatanku.

Dengan refleks, tanganku yang tak memegang cangkir langsung memegang kedua tangan yang menutupi mataku.

“Aldo, apaan sih?” gerutuku. Aldo terkekeh.

“Ish, kok tahu kalau ini gue?” tanya Aldo sambil melepaskan kedua tangannya dan berdiri di sampingku.

Aku menoleh  ke arahnya. “Tahu dong, siapa lagi kalau bukan lo,”

“Eh, gak terasa ya kita sudah lima hari aja di sini. Padahal gue masih pengen ngabisin waktu berdua sama lo,” goda Aldo.

Aku tersenyum geli. “Dasar,” aku menyikut lengan Aldo. “Kita jadi pulang nanti siang nih?” Aldo mengangguk.

“Kenapa masih pengen di sini ya?” aku hanya mengangguk, lalu menyesap cokelat panasku.

“Tapi, besok ‘kan ada prom night di sekolah, sayang. Masa kita gak datang sih?” tanya Aldo.

Aku menghela napas. “Sebelumnya, gue juga gak pernah ikut prom night tuh. Dan gue gak kenapa-kenapa,” elakku.

Aldo mengernyit, ia merasa pendapatku salah. Ralat. Sangat salah.

“Tapi, itu dulu, Lov. Sekarang ‘kan lo punya gue, kita bisa ke prom night sama-sama. Lagi pula lo belum pernah ‘kan? Setidaknya lo nyoba dulu lah, hitung-hitung sebagai pengalaman pertama lo ke prom night,” keukuh Aldo.

Akhirnya aku mengangguk pasrah. Gak ada salahnya ‘kan untuk mencoba hal yang satu itu?

“Oke. Gue bakal ikut,” kataku sambil menatap Aldo. Aldo tersenyum lebar, lalu ia mengacak rambutku dengan gemas.

“Nah, gitu dong, itu baru Lov gue,” katanya bangga. Aku hanya terkekeh pelan.

“Lo udah ngepak barang-barang lo, gak?” tanyaku kemudia. Aldo mengangguk.

“Sudah beres semua, lagi pula gue cuma bawa sedikit aja berhubung di sini sudah ada beberapa pakaian dan peralatan gue yang memang sengaja ditinggalkan,” kata Aldo. Lalu, ia menatapku. “Kalau lo?”

Aku mengedikkan bahuku. “Udah sih, tapi barang bawaan gue dua kali lipat lebih berat dari yang gue bawa pas ke sini,” kataku sambil tersenyum geli.

Aldo terkekeh. “Lo sih, belanja banyak banget. Buat apa coba beli sebanyak itu?”

“Ada yang buat gue, ada yang buat oleh-oleh. Kebanyakan sih buat oleh-oleh untuk keempat teman gue,” jawabku. Aldo mengangguk sambil meringis pelan.

“Lo gak bisa ya cari teman yang normal?” tanya Aldo dengan polosnya. Aku terkekeh, lalu melihat ke langit dan membayangkan sesuatu.

“Terakhir kali gue punya teman normal, dia meninggal,” gumamku  masih melihat ke arah langit.

Tiba-tiba aku merasakan kepalaku berdenyut nyeri. Aku meringis dan menundukkan kepalaku. Aku memijit pelipisku pelan dengan tanganku yang tidak memegang cangkir.

Mataku tertutup rapat karena menahan nyeri.

“Lov?” tanya Aldo ketika melihat perubahan ekspresiku. Ia langsung memegang kedua bahuku. “Lo kenapa, Lov?”

Dan saat itulah, kilasan-kilasan yang tak muncul dalam beberapa hari ini kembali menghantuiku. Ia muncul begitu saja, membuatku semakin merasakan nyeri di kepalaku.

[MS-1] Love and FearsWhere stories live. Discover now