[4] Phasmophobia

12.9K 783 17
                                    

Hi, jangan lupa vomments yaa ;)

+++

Aku membaca buku untuk menghabiskan jam istirahat pertama. Bukan novel seperti biasanya, tapi buku tebal tentang berbagai macam phobia yang aku pinjam dari koleksi buku-buku milik ayahnya Mello.

Entah mengapa aku jadi sangat tertarik dengan hal ini, padahal aku sama sekali tidak mempunyai phobia. Bahkan rasa takut pun aku tidak punya sedikit pun.

Banyak berbagai macam phobia dan menurutku itu sangat lucu, banyak phobia yang bagiku terlihat sedikit aneh dan gak masuk di akal  untuk ditakuti.

Ada Arithmophobia—takut pada angka, bagaimana kalau mereka belajar matematika, fisika, kimia, atau pelajaran yang ada angkanya? Bagaimana mereka ketika melihat uang atau melihat kalender? Apa mereka akan teriak-teriak ketakutan? Tapi, ada bagusnya juga sih, karena mereka bukan termasuk orang matre.

Ada sekitar tiga ratusan phobia di buku ini, dan menurutku yang paling unik dari yang lainnya adalah Caligynephobia—takut pada wanita cantik, Cathisophobia—takut duduk, Cibhophobia—takut pada makanan—ini yang aneh? Emangnya mereka gak makan apa?, Peladophobia—takut pada orang botak, Philophobia—takut jatuh cinta—aku baru tahu ada orang yang takut jatuh cinta, mungkin karena masa lalu yang menyakitkan? Aku tak tahu pasti, bahkan jatuh cinta aja aku belum pernah, dan masih banyak lagi.

Sampai akhirnya mataku tertuju pada sebuah phobia. Phobia yang baru-baru ini membuatku merasa tertarik dengan rasa takut itu sendiri, padahal aku belum pernah merasakannya dan aku tak pernah peduli sebelumnya. Entah kenapa, sekarang aku merasa ingin mengetahuinya.

Phasmophobia—takut pada hantu.

“Ekhem,” dehem seseorang dari arah sebelahku. Aku yang masih asyik membaca, merasa terganggu dan segera menoleh ke arah orang tersebut.

Oh, Billy.

“Kenapa?” tanyaku. Lalu, memberi pembatas pada halaman tersebut dan menutup buku tentang phobia tersebut.

“Gue gak ganggu kan? Kayaknya lo lagi asyik banget baca buku yang tebalnya ngalah-ngalahin buku cetak biologi,” tanyanya.

“Jujur sih ya, lo ganggu banget,” kataku malas, tapi tersirat sebuah candaan.

Dia meringis. “Emang buku apaan sih?” tanyanya bingung. Aku menunjukkan cover buku tersebut, supaya ia bisa melihat judulnya dengan mudah.

Phobia..?” Aku mengangguk. Dia mengernyit.

“Lo kurang kerjaan ya? Baca buku tentang hal yang tak terlalu penting begitu, mana tebalnya minta ampun,”

Aku mengangguk. “Memang,” ucapku santai tanpa memandangnya. Bahkan aku sendiri bingung.

Lalu, aku melihat dari ujung mataku dia kembali mengernyit.

“Eh, yang pagi-pagi di parkiran itu cowok lo ya?” tanyanya penasaran. Aku menoleh dan menatap matanya, ternyata dia sama saja, suka menyimpulkan sesuatu seenaknya.

Aku hanya diam. Tak membenarkan dan tak menyalahkan.

Dia pun bergumam dan mengangguk. “Ternyata betul ya, iya sih, memang sudah jelas banget, pagi-pagi udah mamerin kemesraan di depan banyak orang,” katanya tanpa melihatku. Aku mencoba menatap matanya, tapi entah mengapa aku merasa dia selalu menghindar. Membuatku tidak dapat membaca pikirannya.

Tapi, bolehkan kalau aku menganggap tingkahnya ini sebagai cemburu?

“Kenapa lo?” tanyaku bingung saat menagkap gelagat ingin menghindar dari tatapanku, lagi.

[MS-1] Love and FearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang