[20] Thantophobia

9.4K 705 39
                                    

You make me love and fears at the same time--Lovica Cynthiara.

***

Setelah membaca surat Revan yang ditujukan pada Mitha, aku segera berlari keluar dari rumah sakit dan pergi menuju rumah milik Aldo.

Aku berpikir, mungkin aku masih bisa mendapatkan kabar dari keluarganya. Misalnya Mitha atau Om Bryan. Siapa tahu mereka belum pergi dan masih berada di rumah.

Aku segera melajukan mobilku menuju rumah Aldo yang sudah sangat ku hapal. Sesampainya di rumahnya, aku segera berlari dan menggedor-gedor pintu rumahnya sambil berteriak.

Tapi, sama sekali tak ada balasan.

Hening. Sepi.

“Neng, cari siapa ya?” tiba-tiba ada seorang ibu-ibu yang lewat di depan rumah Aldo sambil membawa belanjaan.

Aku langsung menoleh. “Penghuni di rumah ini. Mereka dimana ya? Kok gak ada, Tan?” tanyaku sopan.

Ibu-ibu tersebut memandangku aneh. “Loh? Rumah ini sudah dijual dua hari yang lalu, neng. Mereka udah pindah. Neng gak tahu?” tanyanya bingung. Aku terkejut. Lalu, ia menunjuk ke arah papan yang terpaku di salah satu tiang rumah.

Aku melihatnya. Ada tulisan ‘Dijual’ di sana. Ternyata benar, mereka telah menjualnya. Perasaan takut itu pun kembali muncul.

Pupus sudah harapanku. Aku berusaha untuk tak menangis. Lalu, aku kembbali menguatkan diriku.

“Tante tahu mereka pindah kemana gak?” tanyaku kemudian dengan lirih.

Ibu-ibu tersebut menggeleng pelan. “Maaf ya, neng. Saya juga gak tahu. Kalau begitu, saya pamit dulu ya, neng,” jawabnya, lalu berlalu begitu saja, meninggalkanku yang telah terpuruk di sini.

Tubuhku meluruh, seakan tak kuat lagi untuk menopang segala bebanku. Ku senderkan punggungku pada pintu. Ku rapatkan kedua kakiku dan ku tekuk hingga kedua lututku menyentuh dadaku. Kepalaku ku tangkupkan ke dalam kedua tanganku. Aku menangis terisak.

Menangisi takdir yang entah mengapa begitu kejam.

Aldo, lo sukses buat gue ngerasain cinta dan takut sekaligus. Lo sukses buat gue hancur, raung batinku.

+++

BRAAAKK.

Aku membanting pintu rumah dengan kasar. Setelah bertangis-tangis ria di depan rumah Aldo, aku memilih untuk pulang dan ingin mengurung diri di kamar. Menangis sepuasnya. Meraung. Menghancurkan apa yang bisa ku hancurkan.

Cukup sudah. Aku tak kuat lagi. Aku hancur. Aku lelah dengan semua ini.

Seakan tak cukup, cobaan terjadi silih berganti. Dan cobaan yangh paling berat adalah kehilangan kedua orang yang paling ku sayang.

Aku ingin segera ke kamar. Tak ku pedulikan lagi kedua orang tuaku yang masih berada di rumah. Persetan dengan sopan santun. Aku ingin segera ke kamar.

“Vica? Kamu kenapa, nak?” tanya Mama ketika melihatku lewat di depannya.

Aku tak menjawab dan tetap menaiki tangga. Melewatinya begitu saja.

Tiba-tiba Papa berteriak nyaring. “Vica! Kalau orang tua nanya itu dijawab!” geram Papa. Aku tidak mengacuhkan tegurannya, lalu membanting pintu kamarku begitu saja.

Aku membanting tubuhku ke arah kasur. Meremas erat ujung selimutku. Tangisku pecah.

Kedua orang yang selalu ada untukku pergi. Tempatku bersandar, tempatku mengadu, tempatku berbagi, semuanya hilang.

[MS-1] Love and FearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang