[19] Surat Terakhir

7.7K 659 36
                                    

Aku kembali dengan part menye-menye. Lagi. Hehe.

Enjoy!

+++

Aku bertanya-tanya dimana aku sekarang? Aku melihat tanah lapang yang sangat luas dan tanpa ujung yang dipenuhi kabut, entah seperti apa.  Aku menoleh kanan-kiri, mencari seseorang yang bisa membantuku keluar dari sini, tapi aku tak menemukan seorang pun.

Hingga aku menemuka sebuah cahaya yang menyilaukan yang perlahan bergerak ke arah dimana aku terduduk. Aku memicingkan kedua mataku agar dapat melihat ‘cahaya’ tersebut lebih jelas, hingga aku menemukan sebuah bayangan hitam seperti bentuk manusia.

“Si..siapa?” tanyaku gugup saat ‘seseorang’  itu semakin  mendekat dan tak lama wujudnya pun terlihat.

Revan!, batinku berteriak nyaring.

Ia memakai pakaian serba putih sambil menatapku pedih, tapi tak lama ia tersenyum tulus. Dan dengan sebuah kedipana mata, ia menghilang begitu saja.

Aku panik. Berusaha mencari dimana Revan. Aku memanggil namanya berkali-kali, tapi ia tak miuncul juga. Hingga aku melihat sebuah cahaya lain yang berjalan mendekat ke arahku, namun belum sempat ku lihat wajahnya, ia kembali menjauh.

“AAAARRRGGHH! JANGAN.. JANGAN PERGII!!!” aku mengejarnya, tapi semakin aku mengejarnya, ia semakin menjauh.

“Vica! Vica! Bangun nak,” tiba-tiba ada suara dari arah atas, aku mendongak. Dan saat itu pula aku terbangun dari tidurku.

Aku melihat wajah Mama yang menatapku cemas. Sesekali aku berusaha menetralkan napasku yang ngos-ngosan. Sekali lagi, aku bermimpi buruk.

Mama mengelap keringat yang berada di keningku dengan punggung tangannya. Ia kembali menatapku dengan tatapan ‘kasihan’nya.

“Vic, kamu mimpi buruk lagi ya?” tanya Mama. Aku hanya diam, tak menjawab pertanyaannya, mengacuhkannya dan hanya menatap kosong ke arah depan.

Mama menghela napas. “Kamu sekarang siap-siap gih, kita mau ngantarin Revan ke pemakaman. Kamuu harus kuat ya, nak,” katanya dengan nada keibuan, lalu pergi keluar kamarku setelah mengelus kepalaku.

Aku tersenyum miris, lalu segera mengambil handuk dan pergi mandi. Meskipun aku ‘agak’ ngerasa tak rela, tapi aku ingin mengantarkan kepergian Revan. Aku ingin mendoakannya agar ia tenang di alamnya nanti. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk Revan.

Setelah menempuh satu jam perjalanan, akhirnya kami sampai ke kuburan yang sudah disiapkan oleh Papa untuk menjadi tempat istirahat terakhir bagi Revan.

Aku keluar dengan langkah pelan sambil memperhatikan tandu yang berisi Revan di dalamnya. Ia dibawa ke sebuah kuburan yang sudah tergali.

Aku menangis terisak. Lagi. Ketika melihat Revan dikuburkan.

Padahal aku sudah berrjanji agar tak menangisinya karena aku ingin memberikan perpisahan terbaik untuk Revan. Tapi, aku gagal.

Aku tak peduli lagi dengan Mama dan Papa yang saling berpelukan dan berlutut di samping makam Revan, aku tak peduli lagi dengan keluarga besar dan relasi-relasi bisnis Papa dan Mama yang mengucapkan kata sabar sambil menepuk pundak kami, aku tak peduli lagi dengan tatapan-tatapan kasihan yang diperuntukkan bagiku yang terisak hebat.

Aku tak peduli. Yang ku pedulikan hanya fakta bahwa Revan sudah tiada.. dan Aldo yang tak kunjung sadar dari komanya.

Aku menangis, merasa lelah sama semua ini. Mengapa cobaan berangsur-angsur datang padaku? Tak cukupkah Tuhan membuatku dan Aldo kecelakaan sampai Aldo mengalami koma hingga Ia juga mengambil Revan dariku?

[MS-1] Love and FearsWhere stories live. Discover now