[18] Good Bye

8.3K 691 77
                                    

Aku update lagi, thanks yang masih setia buat baca :)

+++

Aku tertegun ketika mendapati Revan yang berbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Seluruh tubuhnya banyak terpasang alat-alat medis. Setelah mendengar pernyataan mendadak—yang sama sekali tak ku sangka-sangka—dari kedua orang tuaku tentang Revan, aku langsung mematung dengan segala pikiran dan pernyataan-pernyataan betapa menyesalnya diriku karena selama ini aku terlalu cuek. Ya, aku terlalu cuek sehingga sama sekali tidak menyadari penyakit yang Revan derita selama ini.

Percuma punya magical senses pada mataku, tapi kenyataannya aku tak pernah tahu apa yang Revan dan orang tuaku sembunyikan selama dua tahun ini. Bayangkan, selama dua tahun rahasia ini tersimpan rapat-rapat dan aku tak pernah mengetahuinya sama sekali.

Aku menyesal, mengapa aku tak pernah peka. Aku tak pernah peduli sedikit pun pada Revan. Karena Revan tak pernah mengeluh apa-apa padaku, aku menganggapnya selalu baik-baik saja. Astagaa.. betapa buruknya aku menjadi seorang kakak.

Aku mengelus kepala Revan dengan lembut dan membisikkan betapa menyesalnya aku selama ini.

Aku kembali teringat pada pernyataan kedua orang tuaku di depan ruang ICCU, kenyataan yang sangat menohokku.

+++

“Revan masuk rumah sakit, Vic. Dia.. dia harus dirawat,” kata Papa hati-hati, seakan-akan pernyataan yang disampaikannya itu dapat meremukkanku. Sedangkan Mama, ia hanya menunduk dan tak berani menatap ke arahku.

“A..apa? Apa maksud kalian?” tanyaku tak percaya.

“Revan sakit, dia.. dia punya penyakit, Vic..” ucap Mama dengan suara bergetar, bahkan ia tak ingin repot-repot mengalihkan pandangannya padaku.

Aku tersentak. Mataku membulat seketika. Mengapa aku tak mengetahui Revan mempunyai penyakit?

Dengan sisa tenaga yang ku punya, aku pun kembali bertanya. “Revan.. Revan sakit apa?”

Mereka berdua pun  terdiam. Sama sekali tak ada yang mau menjawab pertanyaanku. Melihatnya, perasaanku menjadi tidak enak.

“Apa yang kalian sembunyikan? Revan sakit apa, hah?” tanyaku sambil mengguncang kedua bahu milik Papa. Aku kalut. Aku panik. Bahkan aku tidak bisa membaca pikiran mereka karena terlalu panik, pikiranku sama sekali tak bisa fokus.

Mama langsung mengambil alih tanganku dan menggenggam kedua tanganku dengan erat. “Tenangkan dirimu, Vic,” hibur Mama, tapi Mama sendiri telah meneteskan air matanya.

“Revan sakit apa, Ma?” tanyaku lirih sambil menatap kosong ke arah Mama.

“Revan.. Revan dia punya penyakit kanker otak, Vic..” jawab Papa kemudian. Pandanganku langsung teralih pada Papa. Aku memandangnya tak percaya.

“Papa bohong ‘kan? Papa cuma becanda sama Vica, iya ‘kan? Jawab, Pa!” teriakku histeris.

Papa menggeleng sambil menatapku dengan serius. “Papa serius, Vica. Kami mengetahui penyakitnya sejak dua tahun yang lalu,”

“Kamu masih ingat kejadian dua tahun yang lalu saat Revan main basket? Dia jatuh karena didiorong, lalu kepalanya terkena bola basket dan dia sampai pingsan?” tanya Papa kemudian.

Aku kembali mengingat ketika Revan masih SMP kelas 9, dia ikut ekskul basket di sekolahnya. Ketika pertandingan besar, aku gak tahu apa nama pertandingannya, dia didorong dengan sengaja oleh lawan mainnya, lalu ada yang ngelempar bola besket sembarangan dan akhirnya mengenai kepala Revan. Waktu itu aku terpekik nyaring dan segera berlari menuju Revan. Aku membawanya ke rumah sakit bersama denga anggota PMR sekolahnya, lalu menghubungi kedua orang tuaku.

[MS-1] Love and FearsWhere stories live. Discover now