Langkah tanpa Jejak

6.6K 82 30
                                    

Merdeka, bocah kecil yang hidup jauh dari berkecukupan. Gubuk kecil tempatnya bernaung sungguh sangat memperihatinkan. Tapi ... keadaan itu tak lantas membuat dirinya sedih ataupun merasa tidak beruntung. Ia justru sangat bahagia dengan kehidupannya. Kaki tanpa alas, kepala tanpa tudung, dan raga tanpa balutan kain di tengah terik matahari demi membantu sang ayah menanam sayur.

"Nanti ... kalau panen kita bagus dan terjual habis, kamu minta belikan apa, Deka?" tanya Pak Dito, ayah Merdeka.

Merdeka berdiri dan menghempas cangkul yang ada di tangan kecilnya.

"Aku mau makan ayam goreng seperti teman-temanku di sekolah," jawab Merdeka dengan mata berbinar-binar dan bertepuk tangan riang.

"Apa kau tidak ingin dibelikan sepatu agar terlihat keren saat kau upacara Agustus nanti?"

"Harga sepatu mahal, bukan? Lihat ... kakiku masih kuat berjalan tanpa alas," jawab Merdeka seraya menunjukkan kaki kurusnya pada Pak Dito. "Kita akan membutuhkan sayuran yang sangat banyak untuk menukarnya dengan sepatu baruku, dan aku tidak mau."

Pak Dito meletakkan cangkul kemudian mendekati Merdeka. Ia mengusap kepala sang buah hati dengan tangan kasarnya penuh kasih.

"Apapun akan bapak lakukan sampai kau dapat menjadi busur panah yang tajam dan mampu menembus langit impianmu," ujar Pak Dito penuh harap, "seperti yang mendiang ibumu inginkan, kau akan merdeka kelak seperti namamu."

Merdeka tersenyum, ia menari dan mengayunkan kaki mengelilingi Pak Dito. Bahagia itu sederhana baginya, cukup melihat sang ayah tertawa, dan menuruti perkataan serta nasehatnya.

"Kepalamu akan pusing jika kau terus berputar seperti itu," Pak Dito mengingatkan Merdeka yang tak henti berputar.

"Kalau mengelilingi ayah saja kepalaku sudah merasa pusing, bagaimana mungkin aku sanggup untuk mengelilingi dunia kelak. Betul, kan, Pak? Dan saat ini ... aku sedang mengelilingi duniaku."

"Mimpi kamu!"

"Bapak tidak percaya?"

Pak Dito menggeleng. "Hei, kau ada di kebun sayur yang tidak terlalu luas, bagaimana bisa kau menyebutnya sebagai dunia?"

"Semua karena bapak."

Kening Pak Dito berkerut, ia menarik ketapel yang tergantung di leher Merdeka supaya berhenti mengelilingi dirinya.

"Coba jelaskan pada bapak apa yang kau maksud?" tanya Pak Dito seraya berjongkok menghadap putranya.

"Karena bapak adalah duniaku, dan bapak adalah satu-satunya alasan bagiku untuk selalu tersenyum," jawab Merdeka dengan sorot mata nanar.

"Semoga kelak kau menjadi anak yang berbakti pada Nusa dan Bangsa."

*****

Malam semakin larut, di bawah lampu minyak yang tertempel pada dinding papan gubuk, Merdeka sedang asik belajar. Ia tak ingin mengabaikan pemintaan mendiang sang ibu agar selalu giat untuk belajar apapun keadaannya.

Hidup boleh miskin, asalkan jangan miskin ilmu dan akhlak.

Kata itu yang selalu diingat oleh Merdeka untuk memompa semangatnya.

"Tidurlah, Merdeka, malam sudah larut. Kau besok harus sekolah, bukan? Baju sekolahmu sudah bapak jahit, jadi ... kau tidak akan memakai baju yang koyak lagi," ucap Pak Dito.

"Iya, Pak. Aku akan tidur setelah pekerjaanku selesai."

"Memang apa yang sedang kau kerjakan?" tanya Pak Dito seraya membentang sebuah tikar yang terbuat dari daun pandan hutan sebagai alas tidur.

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now