Surya yang Tidak Terang #1

334 7 0
                                    

“Jangan bermimpi terlalu jauh, nanti kau tersesat dan tak mampu mengenal jalan pulang!”

Elang mengemas beberapa baju dan makanan untuk sekedar menjadi bekal saat melintasi alam saat siang. Sedangkan Surya hanya terus terdiam menatap cakrawala yang perlahan semakin membiru. Siapa sangka, hanya dengan menatapnya saja, mata seakan terhipnotis hingga enggan untuk berpaling.

“Cukup tetapkan langkahmu berdiri bersama kami di desa ini! Lagi pula, desa kita lebih membutuhkanmu,” pria itu kembali menjelaskan seraya melangkah meninggalkan gubuk sederhananya. 

Selama dalam perjalanan, mereka memilih untuk larut dalam diam. Elang sibuk memeriksa barang yang ia bawa, sementara Surya masih terus menatap sang langit.

“Air, makanan, sapu, … hei!” teriaknya, “kau jalan, jangan hanya menggunakan kaki. Pakai mata kau itu!” ucapnya sedikit tersulut emosi.

Perjalanan mereka terhenti ketika menagkap sosok wanita tua sedang memikul sebuah tas berisikan serbuk putih yang memiliki tekstur padat namun juga agak sedikit lembab.

“Tolong! Babi itu kembali merusak kebun warga!” teriak seorang warga.

Surya berlari mengejar babi hutan itu sekuat tenaga. Perlahan langkahnya melemah, ketika menyadari dirinya sudah terlalu jauh memasuki hutan. Surya ingin sekali kembali, namun hati berkata untuk terus maju. Dan betapa menawannya pemadangan yang telah tersuguhkan di hadapan Surya. Sebuah desa kecil dengan berbagai macam benda yang belum ia ketahui, apakah itu? Langkahnya perlahan, menapaki jalan dan membelah rerumputan.

“Maaf, kau …?” tanya Lisa yang merupakan penduduk desa setempat dengan sedikit berhati-hati.

“Lisa, jangan lupa untuk mengambil dokumentasi. Kita perlu bahan untuk laporan ke … siapa dia? Kenapa dia tidak memakai baju?” tanya Dewo yang merupakan rekan Lisa.

“Ehm, kalau dia ... biar aku yang urus. Kamu mau dokumentasi, akan aku berikan yang banyak. Sekarang ketik saja semua hasilnya, biar kita bisa segera kembali ke kota!” Lisa mendorong Dewo untuk melangkah menjauh.

Surya merasa aneh melihat semua orang yang kini ada di sekitanya. Mereka tidak memakai pakaian yang sama seperti ibunya, dan para pria justru memakai pakaian dengan bahan yang sama dengan para wanita.

“Kamu bukan orang dari desa ini?” tanya Lisa sekali lagi.

Surya hanya mengangguk. Ia ingin kembali. Jujur saja kini dirinya mulai merasa tak nyaman.

“Laper nggak? Ikut ke rumahku saja?” ajak Lisa sekali lagi.

Perjalanan terasa sedikit lebih panjang. Bukan hanya panasnya mentari yang menjadi penghalang langkah, namun juga rasa aneh karena menjadi pusat perhatian. Surya memilih untuk terus menunduk seraya berjalan mengikuti langkah kaki Lisa.

“Aduh, Nak, hati-hati kalau kamu jalan!” ucap seorang wanita tua renta.
Surya menjulurkan tangannya, seraya menunduk meminta maaf berkali-kali. Wanita tua itu hanya menatap dengan penuh kebingungan. Namun ia memilih membalas sikapnya dengan senyuman hangat.

Banyak hal yang dilalui oleh Surya. Ia melihat dunia yang baru dalam satu hari. Berbagai macam teknologi dan juga perkembangan yang selama ini tak diketahuinya seakan menjadi sulap yang selalu membuatnya takjub. Perlahan lisannya merangkai kata untuk menjelaskan rentetan pengalaman itu kepada sang ibu. Awalnya, sang ibu merasa bahagia dengan keceriaan yang tertuang dalam setiap ucapa anaknya. Namun raut bahagia itu memudar saat anaknya memilih untuk berada di antara kemajuan itu.

“Kenapa ibu diam saja? Apakah aku sudah menyinggung perasaan ibu?”

“Tidak Surya, kau sama sekali tak berbuat salah,” sang ibu berucap dengan senyum getir.

Surya tahu, ibunya sedang berbohong. Kegelisahan menjadi penanda akan adanya suatu hal yang akan menjadi kendala dalam niatnya.

*****

Kidung merdu sang burung menghantarkan terbitnya sang surya, yang perlahan mengusir kegelapan. Embun-embun pun mulai berlari dan berubah menjadi uap. Udara segar membuat setiap rongga terasa lega. Ingin rasanya semua kenyaman ini dinikmati dari balik tempat tidur, namun sang waktu enggan menunggu siapapun dalam kemalasan. Hingga semua memilih untuk menjemput rezeki di balik terangnya sang surya.

“Kau gila!” ucap Elang mengejutkan Surya.

“Apa maksudmu? Pagi-pagi datang ke rumahku dan membuat keributan!” balas Surya tidak suka.

“Kau memilih meninggalkan desa dan menjadi perantau ke desa lain? Apakah kurang cukup untukmu menggarap alam di sekitar kita ini?” ucap elang setengah menyalahkan Surya.

“Kau salah paham dengan maksudku, Lang. Aku ingin keluar dari kenyamanan yang tersedia di sini. Aku ingin menggarap lahanku sendiri.”

“Surya, kau bisa mencari lahan lain di sini, untuk apa kau keluar?”

Surya menghela napas panjang. Maksud hatinya adalah agar mereka memiliki apa yang tidak dimiliki di tempat itu. Ia ingin warga desa menjadi lebih maju dan nyaman lagi seperti desa lain. Tak perlu menggarap sawah dengan kebau, bisa berjalan jauh, dan lebih cepat mengelilingi desa dengan kendaraan roda dua. Terlebih melihat dunia dengan benda kecil yang disebut telepon.

Elang menggeleng dan tersenyum miring. “Kemajuan yang kau utarakan itu adalah bentuk kemalasan mereka! Kita bisa menjadi lebih sehat dengan banyak bergerak ketika berjalan maupun bekerja. Udara kita pun akan menjadi lebih sehat dan segar. Kau dan aku adalah penerus desa kita, mau kau rusak semua alam ini dengan kemajuan kota itu?”

“Perusakan yang kau sebut adalah bentuk keberhasilan mereka dalam memajukan zaman ini. Tidakkah kau sadari, semua itu justru membuat kita mampu menghasilkan lebih banyak bukan hanya untuk diri kita, melainkan orang lain!”

Di saat kau sibuk memeras alam untuk kemajuan dan keserakahan. Maka kau juga membuat alam ini marah.”

Elang berjalan meninggalkan Surya yang masih sibuk dengan pembenaran niatnya. Ia menatap sosok ibunya yang berdiri di sudut ruangan. Dengan mata yang sudah berkaca-kaca siap menumpahkan apa yang tertahan. “Maaf, Bu. Surya harus pergi,” pamitnya.

*****

Lanjut sebelah yak 🤗🤗

By somplaker

Airyah_

~~Terima kasih sudah membaca~~

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now