Bulan, Bintang, tanpa Matahari #3

327 6 0
                                    

Waktu terus bergulir, seorang ibu tengah menangisi keadaan sang buah hati yang kini terbaring lemah tak berdaya. Wajahnya pucat pasi, seakan tiada darah mengaliri tubuh. Dingin. Ya, tangan itu mulai berubah menjadi dingin.

"Kanker mata anak ibu sudah sangat parah, harus segera dioperasi," ucap dokter yang menangani Matahari pada Bu Ratih.

Bu Ratih mengangguk sambil tersedu. Ia takut Matahari mengalami hal yang sama seperti sang suami hingga akhirnya meninggal dunia.

"Maafkan aku, Bu. Jika aku tak mengajak Matahari, mungkin ia tak akan seperti ini," sesal Bintang dengan mata berkaca-kaca. Ia menunduk sambil menggenggam tangan Bu Ratih erat.

"Ini sudah takdir, Nak. Jangan salahkan dirimu sendiri. Maafkan Matahari jika ia tak pernah memberitahukan penyakitnya pada kalian selama ini," tutur Bu Ratih sendu.

Mata Bulan merebak, dirinya menyesal selalu mengatai Matahari rabun. Ia juga selalu menertawakan Matahari jika salah membaca.

Suara derap langkah mendekat ke ruangan Matahari. Bu Ratih, Bintang, juga Bulan menoleh dan menatap beberapa orang yang baru saja sampai.

"Polisi?" gumam Bu Ratih sambil menyeka air mata.

"Selamat siang, Bu. Apa benar ibu adalah ibunya Matahari?"

Bu Ratih hanya mengangguk.

"Terimakasih, Bu. Berkat bantuan anak ibu, kami bisa menangkap orang yang selama ini kami cari," ucap polisi tak mengurangi rasa hormat pada Bu Ratih.

"Iya, Bu. Saya sangat kagum dengan remaja seperti anak ibu. Terimakasih, karena dia ... nama baik saya telah kembali," sahut Pak Ibnu, ayah dari Bintang, "semua biaya pengobatan Matahari, biar saya yang tanggung," sambungnya.

Bu Ratih mendongak, menatap wajah polisi dan Pak Ibnu bergantian. "Terimakasih, Pak. Anak saya seperti anak yang lainnya. Tanpa Bulan dan Bintang, mungkin Matahari tidak dapat melakukan banyak hal."

"Negeri ini butuh pemuda seperti kalian, jangan berhenti melakukan hal yang baik," ucap seorang polisi berbadan tegap pada Bulan dan Bintang sebelum berlalu.

*****

Waktu terus berlalu, inilah hari di mana Matahari melepaskan segala penat. Ia pergi meninggalkan duka yang mendalam bagi ibu dan dua sahabatnya. Kanker mata yang diderita, tak mampu memberinya kesempatan untuk hidup lebih lama dan mengukir prestasi.

"Matahari, maafkan aku. Semoga kau tenang di alam sana!" ucap Bulan sambil menangis. "Bagaimana bisa bulan bersinar tanpa matahari."

"Matahari itu seperti matahari di langit, ia tak pernah mengeluh, tetap berdiri tegak menantang galaksi meski banyak yang mencelanya karena sinarnya terlalu terik. Penuh dengan ketulusan, mengukir tawa pada orang yang dekat dengannya tanpa meminta imbalan apapun," lirih Bintang. Ia tak kuasa menahan tangis karena harus kehilangan sahabat terbaiknya.

"Kini, ibu hanya akan melihat satu senyum matahari. Matahari hati ibu sudah pergi. Ia tenggelam berganti dengan gelapnya malam," Bu Ratih menganis sejadi-jadinya di pusara Matahari sambil memeluk batu nisan.

Aku ingin seperti bintang. Meski tidak benderang, tapi ... dapat berdiri sendiri dengan tegar. Aku ingin seperti bulan, meski hanya bergantung pada matahari, tapi sinar yang dipancarkan ... dapat memberi kebahagian pada setiap orang yang menatapnya. Aku ingin seperti matahari bagi ibu juga orang di sekitarku. Aku ingin seperti ketiganya.

Isak Bulan dan Bintang semakin menjadi saat membaca tulisan Matahari pada secarik kertas yang diberikan oleh Bu Ratih pada mereka.

"Kini Bulan dan Bintang hidup tanpa Matahari," ucap Bulan dan Bintang bersamaan.

Bu Ratih tersenyum bangga. Meski dalam keterbatasan, hidup tetaplah hidup. Harus dijalani dengan sepenuh hati tanpa melupakan kebaikan. Tegar, dan tidak mengeluh. Ia berharap, akan lahir orang-orang seperti Matahari kelak-menjadi penerus bangsa yang budiman.

*****

Selesai

By : Somplaker

CintaBercerita


~~Terima kasih sudah membaca~~

Kumpulan Kisah InspiratifМесто, где живут истории. Откройте их для себя