Surya yang Tidak Terang #2

211 6 2
                                    

Waktu berjalan dengan cepat. Menghantarkan setiap detik kedalam kenangan hingga berlalu dalam ingatan. Dua bulan sudah Surya meninggalkan desa. Dengan tekad yang kuat sebagai petunjuk jalan dengan tujuan memajukan desanya. Perjuangannya membuahkan hasil, hingga kini pemerintah mulai membenahi desa tercinta.

Sekolah mulai dibangun, jalanan diperbaiki untuk mempermudah akses menuju desa. Semua tertata dengan rapi dengan mengorbankan beberapa pohon sebagai tumbal pembuatan jalan permanen. Hati Elang dan semua penduduk desa tersayat sedih melihat alam mereka kini perlahan mulai berubah. Namun kesedihan beberapa penduduk desa mulai terobati dengan masuknya berbagai sistem baru dari kemudahan dalam bertani hingga dalam menjalani hidup.

“Ibu, Elang, semuanya, kalian mau ke mana?” tanya Surya bingung saat melihat mereka mengemas barang masing-masing.

“Kami akan membuat alam kami sendiri. Di mana lahan yang akan kami kembangkan tak akan menumbalkan apapun!” ucap Elang sinis sekaligus sedih.

“Berhentilah bersikap seolah-olah kau tidak menikmati semuanya!” balas Surya ketus.

“Dan kau berhentilah bersikap seakan kau tahu segalanya! Kami adalah orang yang masih menghargai alam. Meski kami tidak semodern dirimu, namun kami tahu cara menghargai alam. Kelak kalian akan menyesal dengan semua ketamakan ini!” Elang menghela napas panjang. Peluh dingin mengalir membasahi sebagian wajahnya.

“Ini bukan ketamakan, tetapi kemajuan!”

“Kau akan mengenali kemajuan yang sebenarnya, saat mampu berkembang tanpa menumbalkan apapun untuk memuaskan hawa nafsumu itu!”

“Matahari selalu setia menyinari setiap sudut bumi, namun ia tidak meminta apapun untuk semua yang dilakukan. Begitu juga alam yang berkembang dengan bantuannya!”

“Tetapi matahari selalu bersinar dengan panas yang sama setiap harinya. Akan ada bayaran pada setiap hal yang kau lakukan saat ini.”

Elang bersama warga lainnya berjalan meninggalkan desa. Jauh masuk menuju hutan hingga tidak dapat terlihat oleh mata.

*****

Lagi-lagi waktu mengukir kisah dalam balutan kesedihan dan berjalan lambat saat semua tersa hampa. Surya memahami semua itu, saat orang terdekat pergi menjauh. Tujuan tercapai, desa menjadi percontohan untuk desa yang lainnya. Kemajuan yang sangat pesat, hingga semua warga merasakan masa keemasan.

Kini mereka kembali mengalami perkembangan untuk memenuhi standar kelayakan dalam menjadi desa yang layak huni untuk warganya. Perluasan lahan dilakukan di semua titik. Pepohonan ditebang, bukit-bukit dikikis untuk mendapatkan batuan yang cukup. Kini desa mereka terkenenal sebagai desa terbitnya matahari. Desa yang menadapatkan sapaan dari kehangatan sang surya pertama kali, dan dapat melihat keindahan langit jingga tanpa perlu mendaki gunung terlalu jauh.

Semua orang berdatangan untuk merasakan sensasi baru dalam menyaksikan sunrise dan sunset. Keramahan penduduk desa, keadaan alam menjadi candu untuk pengunjung hingga para pengusaha properti. Semua orang semakin gencar memasuki desa, hingga kini semua tidak terlihat sama lagi.

*****

“Pak … pak … baru saja ada berita tentang desa bapak dulu!”

“Desa? Berita? Bicara apa kau, Langit?"

“Terjadi longsor yang meratakan sebuah desa dalam beerapa jam saja. Tak ada tersisa kecuali lahan luas yang seakan telah digemburkan. Bebatuan yang berserakan, pohon tumbang, tempat itu kacau. Seakan kemajuan mereka hanya menjadi sebuah mimpi nyata kini menjadi musnah seketika.” 

“Kau jangan berucap yang aneh-aneh, Langit. Meski bapak bukan lagi warga dari sana, tetapi desa itu tempat bapak kau ini besar.” 

“Aku tak sedang bergurau, Pak! desa bapak telah hilang, rata dengan tanah!” ucapnya mengulangi inti penjelasannya. 

“Surya!” ucap Elang lirih. 

Beberapa penduduk desa memilih berjalan menuju desa yang dahulu menjadi surga untuk mereka. Dan benar, kini tak ada lagi bukti dari masa keemasan dari desa yang dahulu menjadi tempat lahir dan belajar. Hanya tanah yang menyapu setiap sisi dengan puing-puing bangunan yang sudah tak berbentuk. 

“Elang?!” 

“Surya!” 

Mereka berpelukan. Betapa leganya perasaan Elang mengetahui sahabatnya masih dalam keadaan yang sehat. Tak ada raut kecewa yang terukir di wajah Surya. Yang terihat adalah raut wajah penyesalan. 

“Andai aku mendengarkan kata-kata kalian! Desa kita tak akan jadi seperti ini. Ketamakan mereka untuk mendapatkan hasil yang lebih banyak, membuat mereka ingin terus merusak alam. Aku pikir kemajuan ini akan membawa kemakmuran, namun ... alam murka dengan ketidakpuasan warga desa ini. Lihatlah, kini ketamakan itu telah menuai hasil.” 

Elang menepuk pundak Surya. “Andai mereka mau mendengarkanku. Kerugian yang mereka dapatkan tak akan separah ini. Mereka terus menuai tanpa menanam. Mereka terus mengerogoti alam dengan perluasan dan mengikis bukit tanpa kenal waktu. Mungkin alam telah lelah diperlakukan tidak adil, hingga membuat mereka yang dahulu di kenal sebagai penduduk desa matahari terbit menjadi desa terbenam.” 

“Kembalilah ke desa kita. Kita akan mengembangkan dan meraih masa keemasan untuk desa dengan cara yang benar!” ajak Elang. 

“Aku malu pada yang lainnya!” 

“Masa lalu hadir bukan untuk terus menerus kau sesali, melainkan sebagai pertimbangan untuk kau pelajari, agar kelak tak akan ada lagi kesalahan yang sama!” 

Surya kembali bersama keluarga ke tempat di mana awalnya berada. Perlahan ia membangun desanya yang baru bersama Elang dan penduduk lain. Memajukan desa dengan mengembangkan potensi alam, namun tetap menjaga alam.

Matahari yang selalu terbit menjadi saksi perjuangan mereka. Mungki tempat lah yang berbeda, namun langit senja tetap setia menaungi kemanapun kaki mereka berpijak di muka bumi. 

*****

Selesai

By somplaker

Airyah_

~~Terima kasih sudah membaca~~

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now