Katanya pendidikan? #1

3K 17 0
                                    


Hening, tidak ada satu suara pun yang terdengar selama proses belajar berlangsung. Semua sibuk memerhatikan penjelasan dari guru sambil sesekali mereka membuka lembaran buku dan menulis beberapa kata di atas kertas kosong. Bel berbunyi beberapa menit kemudian, terlihat senyum lebar terukir cerah di wajah mereka.

“Minggu depan, sekolah akan mengadakan BAKSOS di desa maju mundur. Selain itu, kita akan membantu ibu-ibu PKK di sana untuk mulai mengembangkan home indrusty dengan tema daur ulang. Ibu mau kalian mulai membuat kelompok lalu pelajari satu saja kerajinan dari barang bekas, kemudian kita ajarkan kepada penduduk di sana.”

Setelah menyampaikan pengumuman, beliau segera berlalu meninggalkan kelas. Kelas perlahan menjadi riuh oleh diskusi ringan soal rencana BAKSOS mereka.

“Fikar, kau ikut kan pekan ini?” tanya Raka dengan antusias.

“Maaf, sepertinya tidak! Aku harus membantu ibuku saat akhir pekan. Beliau sudah terlalu sering bekerja sendirian saat aku menunaikan kewajiban di hari-hari yang lainnya.”

Fikar seorang remaja sederhana yang mampu bersekolah karena beasiswa. Belajar yang giat, aktif dalam kegiatan ekstrakulikuler, mengurangi angka ketidakhadiran adalah beberapa hal yang perlu ia lakukan untuk mempertahankan beasiswanya. Ia hanya hidup bersama ibu dan adik laki-lakinya yang masih duduk di bangku SMP. Keluarga kecil sederhana yang pada akhir pekan sajalah mereka mampu berkumpul bersama-sama.

***

Langit jingga perlahan mulai menghilang. Angin dingin mulai menyapa setiap pori-pori tubuh, hingga siapapun yang merasakannya akan mengigil karenanya. Sayup-sayup mulai terdengar suara roda yang perlahan semakin mendekat. Fikar dengan sigap melangkah mendekati pintu, lalu membukakan pintu untuk sosok pahlawan hidupnya.

Alhamdulillah, hari ini Ibu kembali tidak selarut biasanya,” ujar Fikar lega.

“Hari ini pekerjaan ibu menjadi lebih ringan. Beberapa orang di lapangan membantu ibu dengan kegiatan BAKSOS mereka,” sahut sang ibu dengan senyum mengembang.

Tidak ingin berlama-lama, Fikar segera meminta sang ibu untuk mulai membersihkan diri terlebih dahulu, beribadah lalu mulai menghabiskan waktu bersama di meja makan. Fikar segera kembali ke kamarnya, mulai bercengkrama dengan buku-buku tugasnya. Beberapa menit larut dalam fokus, namun rasa kantuk berhasil membuainya hingga larut dalam mimpi.

Matahari mulai bersinar manja, menyalurkan kehangatannya kepada setiap manusia yang baru saja melewati malam yang dingin bersama sinar rembulan. Seperti biasa, Fikar memilih untuk membantu ibunya di sepanjang perjalanan. Beberapa kali Fikar mencoba untuk mengambil alih pekerjaan ibunya, namun selalu saja ditolak.

“Bajumu akan kotor karena ini nantinya!” ucapnya menolak.

Langkah mereka terhenti saat melihat jarak Fikar dengan sekolahnya kini hanya tinggal sebuah jalan raya. Dengan khidmat Fikar mencium tangan kasar dan keriput milik ibunya. Dengan lembut ia berucap salam dan menitip do’a agar hari-harinya akan berjalan dengan lancar seperti biasanya.

Tidak seperti biasanya, kini semua orang menatap Fikar dengan tatapan yang cukup membuatnya merasa tidak nyaman. Beberapa orang berbisik setelah menatapnya, dan ada pula yang segera berjalan menjauh saat melihatnya. Tak ada lagi sapaan hangat seperti biasanya, senyuman yang mengembang kini hanya terlihat sebagai ejekan untuknya.

Baru saja Fikar ingin meletakkan tasnya, kini ia kembali dikejutkan dengan sebuah tulisan yang menegaskan tentang dirinya. Dengan langkah tenang, Fikar meraih penghapus yang tergeletak di atas meja. Perlahan Fikar menggerakkan tangannya seirama hingga mulai menghilangkan tulisan yang menurutnya akan membuat semua orang menjadi tidak nyaman.

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now