Penyakit Kami

657 10 0
                                    

Aku ingin dihargai. Aku hanya ingin itu. Tak ingin yang lain. (Kami, tahun 2006).

Aku hanya ingin didengarkan. Sesederhana itu. (Kami, tahun 2011).

Aku hanya ingin diterima di lingkungan. Semudah itu. (Kami, tahun 2016).

Itulah tiga keinginan yang ingin diwujudkan oleh Kami. Sejak kecil, Kami sudah dianggap aneh, gila, kurang waras, otak geser, dan dia selalu diremehkan. “Betapa menyedihkannya dia.” Pasti itu yang kalian pikirkan sekarang. Kalian tidak perlu mengkasihaninya. Dia memang sering menangis, tapi dirinya adalah sosok yang kuat.

Aku yang menyaksikan kisah Kami merasa sangat malu. Ia menjalani hidup dengan ikhlas dan sabar. Akan kuceritakan tentangnya. Dimulai pada hari pertama Kami sekolah.

Saat itu, Kami berstatus sebagai murid baru dan Lisa adalah teman sebangkunya. Lisa mengajak berkenalan dan nama panjang Kami adalah Kamilah Hidayanti. Pertama kali kenal, Lisa memanggil Milah, tapi Kami malah berkata, “Jangan panggil aku Milah! Panggil aku Kami!” Dan mulai saat itu Lisa memanggil Kami. Lisa belum mengetahui tentang penyakit kejiwaan yang diderita oleh Kami saat itu.

Yang Lisa tahu, Kami sering tertawa sendiri, lalu tiba-tiba menangis. Karena hal itu, Lisa menganggap dia gila. Tapi semakin hari, Lisa semakin kasihan padanya. Kami selalu disalahkan walaupun ia tak bersalah. Semua usaha Kami tidak pernah dihargai. Akhir-akhir ini, Lisa sering melihat ia melamun sampai berjam-jam hingga melupakan aktivitas.

Lisa yang tak tahan melihat sikap Kami pun memberitahukan padaku. Aku yang memang sahabat Kami, segera menanyakannya ditemani oleh Lisa.

“Lisa sering melihatmu tertawa sendiri, lalu tiba-tiba menangis. Kamu kenapa?” tanyaku padanya.

“Entahlah. Aku sendiri tak tahu. Aku sering melamun hingga terhanyut kedalamnya. Dan itu hingga berjam-jam. Tak hanya lamunan, aku juga sering terhanyut dalam musik. Tertawa, menangis, berbicara sendiri sering kualami,” jawab Kami.

“Sering melamun? Kamu bisa membedakan antara kenyataan dan tidak, kan?”

“Bisa kok. Memangnya kenapa?”

“Maladaptive daydreaming,” aku menjelaskan pada kami bahwa dirinya mengidap penyakit yang kumaksud.

“Darimana kamu tahu soal itu?” dahinya berkerut menatapku.

Aku pernah membaca artikel tentang maladaptive daydreaming. Di sana disebutkan gejala-gejalanya adalah sering melamun berjam-jam, tertawa, menangis, berbicara sendiri, dan terhanyut dalam musik. Dan ... Kami memiliki itu semua. Aku juga membaca, maladaptive daydreaming bisa muncul karena orang tersebut mempunyai masa lalu yang menakutkan. “Apakah kamu mempunyai itu?”

“Aku ....” Kami tak melanjutkan ucapannya saat Tika berteriak memanggil namaku.

“Ada apa, sih, Tik?” tanyaku seraya menoleh ke arahnya.

“Anterin aku ke kantin!” paksa Tika dan tiba-tiba menyeretku menuju kantin.

Aku pun hanya pasrah mengikuti Tika dan meninggalkan Kami seorang diri. Sesampainya di kantin, Tika langsung marah karena aku berbicara dengan Kami. Ia sangat tidak suka dengan Kami. Sama seperti teman-teman yang lain, dirinya menganggap Kami gila. Aku mencoba memberi penjelasan padanya soal penyakit yang diderita oleh Kami.

Aku menceritakan semua yang kutahu tentang maladaptive daydreaming.

“Apa yang membuat penyakit itu muncul?” tanya Tika merendahkan nada bicaranya. Dan aku menjelaskan pada Tika sesuai artikel yang kubaca.

“Darimana kamu menemukan artikel itu?” Tika masih tidak puas mewawancaraiku. Wajahnya mendekat dan menatap tajam.

“Dari postingan seorang dokter di sesial media,” jawabku membuat Tika mengangguk-angguk.

Hanya itu, Tika mengajakku ke kantin bukan karena lapar, melainkan agar aku menjauh dari Kami. Apa salahnya? Mengapa mereka menilai seseorang hanya dari luarnya saja?

*****                                                                                                                                                             

Keesokan harinya saat istirahat, Kami menghampiriku dan menanyakan tentang maladiptive daydreaming yang terjadi karena trauma di masa lalu atau ketidakpuasan terhadap kehidupan saat ini.

“Aku tidak siap untuk menceritakannya, tapi aku nggak mau dikucilkan oleh teman-teman lagi. Apa kamu tahu caranya menghilangkan itu?” tanya Kami.

Aku menjelaskan padanya, bahwa cara mengatasi hal itu adalah dengan cara meminta tolong pada siapapun saat mulai melamun atau jika sedang berada di rumah, bisa menyalakan alarm setiap menit agar saat melamun akan terkejut oleh suara alarm itu. Dan bisa juga menceritakan masalah pada teman atau menuliskan semua permasalahan di buku diary.

“Oh begitu. Makasih, ya, Lia. Tolong bantu aku, ya?” pinta Kami.

Aku hanya mengangguk untuk menanggapi perkataan Kami, dan mulai membantu menyadarkan ketika ia mulai melamun. Tika yang melihat hal itu tentu saja tidak setuju. Ia mencoba menggagalkan dengan berbagai cara. Seperti saat Kami melamun dan aku akan menyadarkannya Tika mengajak pergi ke kantin.

Tapi, walau begitu ... Kami malah sadar karena kehadiran Tika. Perlahan-lahan Kami mulai peka dengan keadaan sekitar dan dia juga mulai bersosialisasi dengan teman-teman sekelas. Dengan begitu, Kami dapat  melupakan masalahnya dan terhindar dari melamun.

Teman-teman ada yang menghargai usaha Kami, dan ada juga yang masih tidak bisa menghargainya. Seperti saat ini. “Mi, gimana pendapatmu?” tanya Lisa saat sedang kerja kelompok.

“Menurutku itu kurang warnanya. Aku tambahin ya,” jawab Kami.

“Gak usah. Biar kita aja, Mi!” sela Tika ketus.

“Iya betul itu,” sahut Lintang, salah satu teman sekelas.

“Udah lah, Tik, Lin, beri kesempatan Kami bersosialisasi. Jangan kayak gini, gak baik,” ujar Lisa membela Kami yang terlihat sedih saat bantuannya ditolak.

“Lis, aku nggak apa-apa kok. Untuk Tika sama Lintang, aku minta tolong ya. Tolong beri aku kesempatan kedua untuk bersosialisasi sama kalian,” lirih Kami.

Lintang dan Tika saling menatap dan dengan kompak berkata, “Tentu saja. Dari kemarin ini yang aku mau!”

“Maksudnya?” tanya Kami bingung.

“Dari kemarin kan kita jutek dan kayak gak ngerhagain kamu. Tapi, sebenarnya kita mau nguji mentalmu,” jelas Tika.

Kami hanya tersenyum dan air mata tiba-tiba meleleh. Mereka yang melihat itu juga tersenyum dan menangis, lalu berpelukan. Dan mulai saat itu, Kami menunjukkan suaranya.

*****

Selesai

By : Somplaker

salisaa15

~~Terima kasih sudah membaca~~

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now