Bulan, Bintang, tanpa Matahari #2

277 2 0
                                    

Matahari pagi sudah mulai meninggi, namun Mata belum sampai di sekolah. Dengan perasaan kesal, Bulan mengangkat kursi ke atas meja — kasar, dan membanting sampai menghasilkan bunyi nyaring.

“Harusnya bukan aku yang melakukannya,” gerutu Bulan, “lihat saja ... jika sampai Mata tak datang dalam hitungan ke 5, akan kuganti namanya menjadi Mati.”

Bulan mulai menghitung dari hitungan pertama, namun usahanya diganggu oleh Bintang yang bernyanyi dengan suara parau.

“Bisa diam tidak!” sentak Bulan saat mendengar Bintang menyanyikan lagu ‘Jaran Goyang’ sambil berjoget.

Bintang terkekeh, kemudian ia melanjutkan aksinya kembali.

“Suaraku sangat merdu, bukan? Apa kau tak menyadarinya?”

Bulan mencebik, “Suaramu bagaikan terompet ‘sangkakala’!” ketus Bulan.

“Maaf,” ucap Matahari yang tiba-tiba muncul dengan napas tersengal. Tanpa banyak bicara, ia langsung melakukan tugas dengan gerakan cepat. Hal tersebut membuat Bulan dan Bintang menghentikan aksinya seketika.

“Hei, ada apa denganmu?” tanya Bulan heran.

Matahari hanya tersenyum samar kemudian melanjutkan aktivitasnya.

“Biarkan saja dia begitu, pasti dia salah lihat jam makanya terburu-buru,” ujar Bintang.

Bulan mengamati Matahari dengan mata menyipit. Penampilan berbeda hari ini membuatnya sedikit bertanya, “Kemana kacamatamu?”

“Jatuh!” sambar Bintang membungkam mulut Mata saat hendak menjawab. Ia kemudian duduk di atas meja sambil melipat kedua tangan di dada.

Suci mengayunkan tangan ke udara dengan tujuan hendak memukul Bintang. Ia kesal karena menjawab pertanyaan yang dilontarkan pada Matahari.

“Aku hanya meringankan beban sahabatku itu, kasihan dia jika harus menyapu sambil mendengar dan menjawab pertanyaanmu yang tak akan ada habisnya,” ucap Bintang santai.

Bulan mendengkus.

“Dengar, aku mempunyai misi yang sangat rahasia dan berencana mengajak kalian untuk menyelesaikannya,” ucap Bintang setengah berbisik.

“Misi apa?” Matahari dan Bulan menghentikan gerakannya mendengar ucapan Bintang. Mereka saling pandang satu sama lain dengan kening berkerut.

Bintang mendekat pada Bulan dan Matahari kemudian berbisik, “Membantu ayahku menangkap sindikat narkoba.”

Mendengar ucapan Bintang yang menurutnya konyol, Bulan pun terbahak. “Kenapa harus kau yang melakukannya?” tanyanya sambil memegangi perut yang terasa sakit karena tertawa.

Bintang mendengkus dan menatap kesal. Dimajukan wajahnya ke arah Bulan, seakan ingin memangsa dan mengunyah habis. “Karena aku anaknya. Ayahku sudah seperti matahari bagiku. Ia adalah seorang ayah sekaligus ibu yang hebat. Aku juga ingin sepertinya, seperti matahari yang setia memeluk bumi.”

Bulan dan Matahari terdiam. Pikiran keduanya melayang membayangkan mereka menjadi pahlawan bagi Bintang.

“Kapan lagi kita membantu Negeri ini, jika tidak dimulai dari sekarang,” sambung Bintang saat melihat wajah kedua sahabatnya seperti menahan  beban berat.

Matahari mengusap peluh pada pipinya. “Aku berdiri paling depan untukmu,” ucapnya penuh keyakinan.

Bulan menoleh. “Aku yang akan berdiri paling depan,” sahutnya tak mau kalah. Ia mendorong tubuh Matahari agar menjauh.

“Kau ini perempuan, jadi kau harus berdiri di belakangku,” ucap Matahari lagi.

“Tapi matamu rabun, kau bisa salah tangkap orang nantinya,” ledek Bulan sambil tertawa.

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now