Aku, padamu Negeri #2

349 10 0
                                    

"Lucy?" panggil Elma setelah pelajaran usai.

"Ya, Elma?"

"Apakah aku ini buruk?" tanyanya dengan wajah sedih.

"Ku tak tau, aku bukan Tuhan yang bisa menilai baik atau buruknya sisi seseorang."

Elma menatap Lucy yang tengah menyapu kelas.

"Kau benci padaku?"

Lucy menggeleng. "Aku tak punya hak untuk membenci siapapun. Tapi, jika kau menyadarinya ... aku rasa itu bagus. Itu artinya kau masih punya perasaan."

"Maafkan aku," ucap Elma memohon. "Aku mau berubah."

"Dengan senang hati!" Lucy tersenyum tipis dan merengkuh tubuh Elma erat. "Sebab, Tuhan tidak akan merubah seseorang jika seseorang tersebut tidak mau merubah dirinya sendiri."

Aku, padamu Negeri

Hari mulai gelap ketika tak menghargai
Hari begitu gelap ketika tak mencintai
Hari akan menyedihkan ketika tak peduli
Hari akan sia-sia ketika enggan mengukir prestasi
Hari akan menghakimi ketika tak mendengarkan lagi

Tak perlu menjadi pahlawan untuk menghargai, cukup menjadi sosok yang rendah hati
Tak perlu menjadi sempurna untuk mencintai, cukup menjadi sosok yang baik budi
Tak perlu menjadi kaya untuk peduli, cukuplah saling mengasihi
Tak perlu saat muda untuk mengukir prestasi, karena belajar tidak memandang usia
Tak perlu menjadi orang yang besar untuk mendengarkan, cukuplah menjadi sosok yang dermawan

Masa kini, tak perlu perang melawan penjajah untuk menang
Negeri ini hanya butuh sosok yang peduli dan cinta tanah air

Wahai pemuda bangsa
Bangkitlah dan bersatu
Bangun rasa nasionalisme dalam diri
Tundukkan ego yang menggebu
Aku, padamu Negeri

Elma membaca puisi pada secarik kertas yang terletak di atas meja Lucy. 

"Ini puisi buatanmu?"

Lucy menoleh. "Itu puisi gagal. Aku masih belajar membuatnya lebih bagus."

"Kau pasti bisa melakukannya," puji Elma.

"Kau lebih hebat dariku!"

"Kau menyindirku?"

"Tidak, aku mengatakan yang sebenarnya. Hanya saja kau tak pernah mendengarkan orang lain, itu tidak bagus!"

"Ya, aku salah. Mulai saat ini aku akan belajar."

*****

Kini Elma mulai merubah kebiasaan buruknya. Ia tak lagi malas. Ia juga tak lagi melawan ibunya. Game sudah ia tinggalkan. Kini ia memanfaatkan ponselnya untuk hal yang lebih baik.

"Mom, bantu Elma untuk menyelesaikan karya tulis yang diperintahkan oleh Bu Dwi tentang zaman dulu dan sekarang. Elma bingung," keluh Elma pada ibunya. "Coba jelaskan sedikit saja."

"Semakin bertambahnya tahun, semakin banyak pula perkembangan-perkembangan yang terjadi. Terutama perkembangan teknologi yang sangat pesat. Contohnya, dulu televisi berwarna hitam putih, sekarang sudah semakin canggih. Dulu, mengirim pesan hanya bisa dilakukan melalui surat, sekarang sudah ada ponsel dengan layar sentuh. Dulu, tiada PLN. Sekarang, malam sudah terang benderang. Masih banyak lagi yang lainnya, kau bisa melihatnya melalui internet. Mudah bukan?"

Mata Elma berbinar. Ada sedikit penyesalan dalam hatinya. Ia terlalu memuja kemalasan.

"Terimakasih, Mom!"

"Ingatlah, Elma. Kau tak perlu mengangkat senjata untuk mengharumkan nama bangsa seperti para pahlawan zaman dulu, kau hanya perlu belajar dan melakukan yang terbaik. Lihatlah, banyak pelajar yang mampu mengharumkan nama bangsa dengan berbagai karyanya yang menakjubkan. Kau paham?"

"Baik, Mom!" jawab Elma sambil menganggukkan kepalanya.

*****

"Elma, taukah kau maksud ibu memilihmu untuk membuat karya tulis, sementara ada Lucy dan King yang lebih hebat dari pada kau?" tanya Bu Dwi saat Elma melintas di depan ruangannya sambil memegang sebuah map berwarna biru.

Elma menggeleng.

"Sini," ajak Bu Dwi agar Elma masuk ke dalam ruangannya. Bu Dwi membuka CCTV yang mana di sana terlihat kebiasaan buruk Elma. "Lihat, kau selalu membuang sampah sembarangan, kau tidak taat peraturan, kau tak pernah mengikuti upacara bendera, dan banyak hal tidak terpuji lainnya yang kau lakukan dengan sengaja."

Elma tercenung sejenak menatap layar komputer milik Bu Dwi.

"Kau tidak mencintai negeri ini, Elma."

"Maaf, Bu!"

"Minta maaflah pada dirimu sendiri. Apakah tugasmu sudah selesai?"

Elma mengangguk. "Ini, Bu!" Elma mengulurkan karya tulisnya pada Bu Dwi takut-takut.

Mata Bu Dwi berbinar saat membaca karya tulis milik Elma.

"Ini yang ibu mau," ucap Bu Dwi sambil tersenyum. "Ibu yakin kau anak yang cerdas, buktinya kau dapat menyelesaikan tugas dari ibu tepat waktu. Sayangilah negeri ini, sayangilah ibumu."

"Kemarilah, King, Lucy!" panggil Bu Dwi pada keduanya saat melihat mereka ada di ruang guru untuk memberikan laporan tentang kegiatan yang akan diadakan pada 17 Agustus.

"Ya, Bu!" jawab King dan Lucy bersamaan.

"Bawa Elma ke ruang seni," titah Bu Dwi.

Setelah sampai di ruang seni, Bu Dwi menyalakan laptopnya, dan terlihatlah di sana sesuatu yang membuat Elma tak percaya.

Cinta untuk Negeri

Aku bukanlah Jenderal Sudirman
Aku bukan Cut Nyak Dien
Aku bukan Cut Meutia
Aku bukan Pangeran Diponegoro
Aku bukan R.A. Kartini
Aku bukan Bung Karno
Aku bukan mereka yang pernah berjuang mempertahankan negeri ini dengan sepenuh jiwa
Aku hanyalah remaja yang tidak tahu bagaimana caranya untuk mengharumkan negeri ini
Aku hanyalah remaja yang tidak tahu bagaimana caranya menghargai sesuatu yang ada pada zaman dahulu demi kehidupan pada masa kini
Aku hanyalah remaja dungu yang tidak punya rasa peduli
Tapi itu dulu
Percayalah, cinta ini untuk negeri

"Itu?" lirih Elma.

"Ya, itu puisi buatanmu. Bagus, bukan? Kau senang?" Bu Dwi tersenyum puas melihat anak didiknya kini telah kembali bersemangat. "Tapi sayang ... puisi milikmu tidak menang melawan puisi milik Lucy dan King," ucap Bu Dwi.

Elma tersenyum tipis diikuti King dan Lucy.

"Aku sudah menang, Bu! Aku tidak ingin apa-apa lagi selain terus belajar untuk menjadi lebih baik. Aku sudah memenangkan hati kalian, aku senang," jawab Elma dengan mata berkaca-kaca.

Elma menggandeng tangan King dan Lucy erat.

"AKU ANAK INDONESIA, KARYAKU UNTUK NEGERI!" teriak Elma, Lucy, dan King bersamaan.

*****

Selesai

By : somplaker

CintaBercerita

~~Terima kasih sudah membaca~~

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now