Secangkir Teh di Pagi Hari

997 17 0
                                    

Pagi ini cerah, mataharinya begitu hangat. Menurutku, pagi adalah waktu di mana semua harapan baik bermuculan.

Namaku Azalea, orang-orang biasa memanggil dengan sebutan Ale. Aku punya ambisi besar atas mimpi-mimpiku. Tak ayal, selisih pendapat pun sering terjadi dengan orang lain bahkan dengan teman-teman. Entahlah ... mungkin karena keras kepala. Bagiku, selagi pendapat itu masuk akal, mengapa tak diutarakan?

Kata orang, mimpi itu tak usah terlalu tinggi, nanti jika jatuh akan sakit. Namun, bagiku tidak demikian, bermimpilah setinggi mungkin selagi pendaratannya masih bisa kau atur dengan baik.

Aku tahu, Tuhan telah menata takdir dengan baik. Maka dari itu, kumaksimalkan usaha dengan doa. Doa itu bukan untuk memberi tahu keinginanku, karna Dia maha tahu atas segalanya. Doa juga bukan untuk meminta dengan paksa, karna Dia maha pemberi tanpa harus diminta. Namun, doa itu hanyalah tentang bagaimana cara menunjukan keperluanku kepada-Nya.

Aku hanyalah orang yang pandai merangkai kata, tanpa tahu aturan dan paradigma kebenarannya. The is no rule on how to write. Begitulah kata Pak Isa Alamsyah di dalam materi pengajarannya. Entahlah, mungkin kata itu yang memberiku pembelaan jika menulis adalah tentang rasa, bagaimana caranya agar pembaca tulisanku seolah berbincang denganku. Itu adalah poin penting yang mungkin belum bisa kulakukan dengan sempurna. Namun, akan terus kucoba.

Banyak orang yang tidak sependapat denganku. Bahkan temanku bilang, “Ale, segala sesuatu itu ada aturannya, termasuk menulis!” tegas temanku. Kala itu, aku berpikir aturan hanya sebuah tulisan kuno yang tak akan terlaksana tanpa sebuah kesadaran. Contoh kecil saja, berapa banyak rambu lalu lintas yang kita temui, jumlahnya sebanding dengan orang yang menerobosnya, bahkan lebih, bukan?

Lalu siapa yang tak tahu dengan slogan ‘Buanglah sampah pada tempatnya’, kujamin anak SD pun tahu, tapi berapa banyak sampah yang masih berserakan tidak pada tempatnya? Itu semua terjadi bukan karna tak ada aturan, bukan? Mereka terlalu egois tanpa tahu timbal balik dan efeknya terhadap orang lain. Akhirnya begitulah yang terjadi.

Lihatlah, betapa tak berpengaruhnya sebuah aturan tanpa sebuah kesadaran. “Kawan, semua itu hanya tentang seberapa besar sebuah kesadaran yang kita miliki bukan?” tanyaku.

“Tapi aturan itu poinnya bukan hanya tentang seberapa banyak orang yang melanggar, Ale!” ucapnya sedikit geram.

“Lalu?” tanyaku.

“Aturan diciptakan untuk membuat kita lebih disiplin!” tegasnya.

“Lalu manakah yang lebih berpengaruh aturan atau kesadaran, untuk menanamkan sebuah kedisiplinan?” tanyaku agak membingungkan.

“Au ahh, serah lu, dah!” jawabnya kesal.

Lalu, aku tersenyum. Percakapan itu terdengar sangat konyol. Bahkan tidak layak kutulis dalam sebuah karya. Bagaimana mungkin menulis tidak ada aturannya? Apa hubungannya dengan kemacetan, sampah, dan segala sesuatu tentang hal-hal yang melanggar aturan?
Begini maksudku, menulis itu penuh dengan kebebasan, kita menulis sesuka hati, fiksi, fakta, humor apa saja. Satu bait, dua bait, tiga bait, berapa saja tanpa aturan dan tuntutan apa pun. Pendapat itu hanyalah alibi untuk membenarkan sebuah pendapatku saja.

Aku tersenyum mengingat percakapan bersama temanku kala itu. Sungguh tak penting untuk diperdebatkan. Temanku benar, aturan itu akan selalu ada dalam segala aspek dan itu mutlak. Namun, aku pun tetap saja tidak salah, karena kesadaran masih menjadi poin utama dalam sebuah kedisiplinan.

Aku menarik napas dalam-dalam. Sungguh, pagi ini kurindu sekali suasana bersama temanku, sudah lama kita tak bertegur sapa. Setelah pendidikan kami usai, semua sibuk dengan kehidupannya yang penuh dengan aturan-aturan. Saat ini, hidup hanya tentang sebuah keseriusan, berbeda dengan dulu, di mana hidup penuh dengan kebebasan.

Dan ... akhirnya aku tahu bahwa tak semua mimpi itu ditakdirkan untuk jadi nyata, ada mimpi yang hanya ditakdirkan menjadi bunga tidur saja.
Begitu pun dengan hal ini, aku ingin tetap di satu titik waktu yang sama seperti dahulu, waktu bersama teman-temanku. Namun, semua tak akan mungkin. Biarlah kisahku bersama mereka menjadi sebuah kenangan yang selalu memiliki ruang khusus di memori kecil damai kepalaku. Untuk saat ini, aku hanya bisa bilang, “Selamat memperjuangkan mimpi-mimpimu, semoga terwujud dengan indah!” Doaku di atas kursi kecil dengan secangkir teh, di kejauhan.

*****

Cerita di atas menggambarkan, betapa pentingnya kita menaati peraturan yang sengaja dibuat maupun tidak. Seperti hidup, barang siapa yang menaati peraturan Tuhan Yang Maha Esa, maka selamatlah dia. Begitu juga peraturan lain, taat berarti selamat.

*****

Sekian

By : Somplaker

storyifa

~~Terima kasih sudah membaca~~

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now