Bulan, Bintang, tanpa Matahari #1

503 5 0
                                    

Matahari itu setia, ia tak pernah berpaling dari bumi
Ia adalah bentuk pengabdian tanpa batas
Dirinya disebut sebagai simbol cinta juga simbol keikhlasan
Tegar dan kuat
Tak peduli meski terkadang dicaci maki
Penuh kehangatan dan kasih sayang
Tempatnya tinggi, tapi tak pernah menyebut dirinya tinggi
Tak pernah egois, dan selalu memberi tempat pada bulan dan bintang di malam hari untuk menggantikan tugasnya

*****

Matahari terseok pada kegelapan malam. Mata rabun membuat ia kesulitan untuk mengenali jalan pintas menuju rumah — jauh dari kata mewah. Gelap, seperti itulah yang dirasakan seorang Matahari. Sebuah senter kecil dalam genggaman, tak dapat membantu penuh penglihatannya.

Udara malam sangat dingin, terasa begitu menusuk pori-pori. Semilir angin menerpa anak rambut yang sedikit ikal.

“Matahari! Dari mana kau malam-malam begini? Sini, duduklah. Kami mempunyai bubuk spesial untukmu,” teriak seorang pemuda pemabuk yang biasa berkumpul dengan teman-temannya di sebuah gardu tua tidak jauh dari rumah Matahari.

Matahari menoleh sekilas, meski ia tak dapat melihat dengan jelas wajah mereka. “Tidak, terimakasih,” jawabnya ramah agar rombongan pemuda itu tidak mengganggunya.

“Tak usah kau merasa malu, bergabunglah bersama kami, gratis!” paksa seseorang bernama Iwan sambil mengahadang langkah Matahari.

Matahari mengayunkan tangannya ke udara untuk menghalau tiga pemuda itu. “Jangan ambil kacamataku, Bang. Mataku akan sulit melihat,” lirihnya saat merasa ada seseorang yang merampas kacamata tebalnya.

“Ini hanyalah kacamata mainan, kau tak perlu memakainya,” Iwan dan teman-temannya sambil tertawa mengejek Matahari.

Ingin Matahari melawan, namun kekuatannya tak mungkin bisa mengalahkan ketiganya. “Tapi aku membutuhkan kacamata itu, Bang! Ayo, berikan padaku kacamata itu, kau tak perlu merampasnya,” ia memohon dengan segala kerendahan hati.

“Kacamatamu sangat buruk, akan lebih baik jika kubuang,” ucap Iwan sambil tertawa penuh kemenangan. Ia memegang kerah baju dan meniupkan sesuatu di wajah Matahari. “Cupu!”

Iwan menghempaskan kacamata milik Matahari ke tanah kemudian menginjaknya. Matahari yang menyadari hal tersebut sangat ingin membalas perlakuan mereka, namun matanya hanya samar melihat para pemuda yang tengah mabuk tersebut.

“Terimakasih, Bang!" ucap Matahari sambil melangkah menjauh. “Ketahuilah, Bang, yang kalian lakukan itu tidak benar,” ucapnya kemudian.

Iwan merasa tersinggung, matanya memerah, dan giginya gemeletuk menahan emosi. “Persetan apa katamu, Matahari. Yang penting hatiku senang.”

“Oh Tuhan, semoga ada seseorang yang bersedia menolongku!” ucap hati Matahari. Ia menghentikan langkah saat seseorang melempar dengan kerikil kecil dan tepat mengenai lengan kanannnya. Ia celingak-celinguk mencari orang yang sengaja usil, namun tak terlihat olehnya.

“Jangan menggodaku! Percuma saja kau menakutiku, aku tak akan dapat melihat wujudmu saat malam,” ucap Matahari sambil meraba-raba area sekitarnya.

Lagi, sebuah kerikil singgah di pipinya. Kali ini ia mengaduh karena merasa kesakitan terkena lemparan tersebut.

“Apa yang kau inginkan dariku? Aku bahkan tak punya apapun!” teriak Matahari. Ia pasrah dengan keadaan.

“Hei, Mata!” panggil seseorang dengan suara hampir berbisik agar kerumunan pemuda mabuk itu tak mendengarnya.

Matahari menghentikan langkah kecilnya saat mengenali suara yang memanggil. Ia merasa senang sekaligus kesal karena ulah Bintang. “Kamu di sini?” tanyanya lirih.

Bintang mengendap-endap di balik rerimbun pohon ubi kayu. “Ya? Majulah lima langkah,” pinta Bintang dengan suara sedikit ditahan.
Matahari menuruti permintaan Bintang tanpa syarat, meskipun ia tahu bahwa dirinya sedang dikerjai oleh Bintang.

“Lagi,” pinta Bintang sambil tertawa kecil.

“Sudah. Apa kau tak lihat aku tak berkacamata?” keluh Matahari saat dirinya merasa lelah karena menuruti permintaan Bintang.

Bintang menghentikan tawanya kemudian mengamati Matahari dari atas sampai bawah. Benar, tidak ada angka delapan pada mata sahabatnya yang tak pernah terlepas walau sesaat . “Kau menjual kacamatamu?”
Matahari menggeleng lesu, namun kemudian ia tersenyum. Sementara Bintang menatap penuh tanya.

“Jatuh,” dusta Matahari sambil memegang lengan Bintang agar memapahnya.

“Ceroboh,” omel Bintang, “sudah kubilang tadi, aku akan mengantarmu pulang, tapi kau keras kepala!” sambungnya.

*****

Hari telah berganti, menyapa setiap insan untuk kembali beraktivitas seperti biasanya. Terlihat seorang ibu tengah tersenyum penuh kedamaian. Ditatap sosok yang menjadi penghibur sekaligus semangat hangat. “Pagi ini, ibu disambut oleh dua matahari secara bersamaan, yang satu menyapa penuh kehangatan dan kelembutannya, satu lagi menyapa dengan senyum begitu menawan. Kau adalah matahari ibu, Nak!”

Matahari terkekeh mendengar ucapan ibunya. Ia menatap wajah sang ibu yang begitu meneduhkan mata sambil mengikat tali sepatu berwarna hitam. “Ah, Ibu. Jangan berlebihan.”

“Ibu bicara apa adanya. Kau tau? Kenapa ibu menamaimu Matahari?”

Matahari menggeleng. Ia menatap sang ibu penuh tanya.

“Ibu ingin kau seperti matahari. Kehangatannya bisa dirasakan oleh seisi alam semesta. Ia kuat, setia, dan penuh cinta. Menyapa hari dengan kelembutan, dan mengantarkan hari menuju malam dengan segala kegembiraan. Begitu rendah hati, meskipun dirinya tinggi. Selalu menunduk dan melihat ke bawah,” tutur kata sang ibu seakan menghipnotis Matahari. Filosofi matahari begitu agung. Apakah Matahari mampu menjadi yang ibunya harapkan?

“Mata sudah terlambat, Bu!” ucapnya sambil mencium lengan kanan ibunya. Ia lupa jika hari ini adalah tugasnya membersihkan kelas.

Ibu Matahari merasa ada yang aneh dengan anaknya. Diamati sang anak lekat-lekat. “Hei, mana kacamatamu?” tanyanya khawatir.

Matahari diam sejenak. “Dirusak oleh Bang Iwan dan teman-temannya, Bu!” jawabnya tak bisa berbohong. Ia mengalihkan pandangan berharap sang ibu tidak banyak bertanya. Namun, dugaannya kali ini tidak tepat, hingga terpaksa ia menceritakan bahwa Iwan lah yang ada di balik semua ini.

“Kenapa bisa begitu?”

“Karena Mata pernah mendapatinya sedang membeli narkoba dari seseorang yang tidak kukenal. Aku juga mendengar perbincangan mereka sekilas, Bu,” jelas Matahari pada ibunya tanpa dikurang-kurangi sedikitpun.

Wajah Bu Ratih mendadak berubah menjadi panik. Ia takut anak semata wayangnya terkena masalah karena hal ini. Sebab sudah banyak korban celaka karena hal yang sama.

“Ibu jangan khawatir, Mata akan mengatasi masalah ini nanti. berangkat,” ucap Matahari mencoba menenangkan sang ibu.

*****

Lanjut sebelah yak🤗🤗

By : Somplaker

CintaBercerita

~~Terima kasih sudah membaca~~

Kumpulan Kisah InspiratifTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang