Asa dari Bawah Bukit

1.3K 24 1
                                    

"Aku ingin melanjutkan sekolahku di kota, Ibu. Bolehkah?" tanya Mariam pada ibunya sambil menyulam.

Sumi, ibunya Mariam menghentikan aktivitasnya kemudian menatap wajah Mariam tanpa mengedip.

"Kau tau, bukan? Seperti apa keadaan ekonomi kita. Bisa makan setiap hari tanpa meminta bantuan orang lain itu sudah lebih dari cukup, Mariam."

Mariam tertunduk lesu mendengar tutur ibunya. Dilemaskannya pundak yang semula tegak.

"Tapi, Bu? Aku bisa kuliah sambil bekerja. Pasti ada yang membutuhkan tenagaku," jawab Mariam dengan wajah memohon.

"Kau ini! Apa kata-kata ibumu ini sudah tidak berguna lagi untuk kau dengarkan! Dengar, ayahnya tak lagi muda, tenaganya tak sekuat dulu lagi jika harus melakukan pekerjaan berat untuk mengantarkanmu ke perguruan tinggi."

"Aku janji, aku akan membiayai sekolahku sendiri, Ibu. Percayalah padaku, aku tak akan mengecewakan ayah dan ibu."

"Ibu akan selalu mendukungmu, Mariam. Tapi tolong, mengertilah dengan keadaan ini."

"Yakinlah, Ibu. Aku bisa melakukannya," ucap Mariam seraya menggenggam tangan ibunya yang tak lagi mulus.

*****

Mariam menatap sayu wajah ibunya yang kian menua. Guratan lelah di wajah ibunya nampak semakin jelas di mata Mariam. Terbersit di benaknya rasa yang begitu kuat untuk membahagiakan kedua orangtuanya. Namun, ia harus mengubur dalam-dalam keinginannya untuk menuntut ilmu ke perguruan tinggi karena segala keterbatasannya.

Ia tersenyum seraya menyeka air matanya pelan. Isaknya disembunyikan agar tak terlihat oleh ibu tersayangnya.

"Tidak melanjutkan kuliah bukan berarti aku gagal, bukan? Aku bisa melakukan hal berguna lainnnya untuk bisa membantu orangtuaku," gumamnya seraya menyusun hasil sulaman ke dalam sebuah lemari kayu yang sudah lapuk. Ada banyak sulaman indah yang sudah ia hasilkan, seperti saputangan, sarung bantal, telapak meja dan yang laiinya.

"Masukkan ke dalam plastik, Mariam, agar sulaman buatanmu tidak di serbu oleh anai-anai," ucap ibunya tiba-tiba.

Mariam menoleh pada ibunya yang sedang membantunya merapikan tumpukan sulaman buatannya.

"Iya, Bu, akan kulakukan. Apa sulaman ini akan berguna?"

"Kau bisa membaginya pada yang membutuhkan, bukan? Itu lebih dari kata berguna."

"Apa aku bisa menjualnya?"

Sumi tersenyum simpul.

"Tentu saja bisa. Tapi, siapa yang akan membelinya? Apa kau lupa, warga kampung kita bukanlah orang yang akan menghamburkan uang hanya untuk membeli sulamanmu. Kau pikir sulamanmu dapat membuat perut yang lapar menjadi kenyang?"

Mariam diam. Ia diam sejenak seraya berpikir bagaimana caranya agar ia bisa membantu memajukan perekonomian warga yang ada di kampungnya.

"Ibu benar, sulamanku bukanlah hal penting untuk dibeli. Semoga ada keajaiban dengan sulaman yang kubuat ini, Ibu."

Sumi mengangguk dan mengacungkan jempolnya pada Mariam.

"Kau bisa mulai membagikan karyamu mulai dari rumah panggung tua yang ada di ujung jalan sana. Lipat rapi dan jangan biarkan ia menjadi usang, Mariam. Jadikan itu sebagai ladang amalmu."

"Baik, Bu!" Mariam mengeluarkan kembali sulaman yang sudah tersusun rapi dari dalam lemari dan memasukkan ke dalam sebuah plastik putih masing-masing satu buah.

"Aku pergi, Bu."

Mariam melangkah pergi seraya membawa karyanya setelah mencium punggung tangan ibunya. Ia menuju rumah yang ibunya maksud tanpa ragu.

Kumpulan Kisah InspiratifWhere stories live. Discover now