Belum Waktunya

1.1K 14 0
                                    

Dila, anak berumur 10 tahun, yang menjadi generasi dizaman kemajuan teknologi. Ia termasuk gadis yang pandai dalam memahami semua mata pelajaran, sehingga cukup baginya menyendiri tanpa adanya seorang teman. Kesehariannya ia habiskan dengan bermain gadget, dan interaksi yang ia lakukan hanya dengan asisten rumah tangganya. Setelah itu hanya gadget-lah, yang menjadi teman rekannya dalam menghabiskan waktu.

“Dila, mama berangkat dulu, yah?”

Hanya sebuah anggukan yang menjadi jawaban atas pertanyaan sang ibu. Seakan terhipnotis, Dila enggan untuk menatap yang lain, selain layar ponselnya. Waktu terasa lebih cepat saat Dila terus bersama ponselnya. Melupakan aktifitas yang semestinya ia lakukan meski hanya sesekali, yaitu bergerak.

***

Suara riuh memenuhi gendang telinga semua siswa. Bel pulang telah berbunyi beberapa menit yang lalu, beberapa siswa memilih untuk segera menghampiri rumahnya. Ada juga yang memilih untuk menghabiskan waktunya sekedar bertukar cerita tentang rencana saat mereka akan kembali.

“Tiah, Hari ini kita main lompat tali, yuk?” tanya Sasha seraya memasukkan barang-barangnya.

“Yuk! Mama juga udah ngomel parah. Kembang-kembangnya abis kita potongin buat main masak-masak!” jelasnya diakhiri dengan gelak tawa.

Langkah Dila terhenti, ia memilih terdiam sejenak mendengarkan rencana teman-temannya. Ia sedikit tertarik, namun ia kembali fokus untuk tenggelam dalam dunianya sendiri.

Tidak seperti biasanya, Dila meletakkan ponsel dan memilih untuk larut dengan menonton sebuah film. Film yang belum layak ia tonton bergenre romantis. Perlahan ia semakin larut dan mulai mencoba memahami setiap gerakan yang dilakukan oleh aktris yang bermain dalam film tersebut.

Ia kini meninggalkan ponselnya, dan mulai asik dengan dunia barunya bersama drama romantis. Hari berlalu dengan sagat cepat, hingga tanpa sadar kini malam telah menjadi pagi. Dila bergerak dengan sigap menuruni ranjangnya, dan memilih untuk segera bersiap untuk ke sekolah.

Langkah Dila perlahan terhenti saat melihat Erlangga, siswa pindahan yang sedang asik bercengkrama bersama teman kelasnya. Ia merasa bingung, perasaan apa yang membuat jantungnya berdebar. Padahal saat ini ia tidak sedang menunggu waktu ujian. Tidak! Bahkan detakannya melebihi rasa gugup ketika menunggu saat-saat ujian. Dila mencoba mengatur kembali detakan jantungnya dengan mengartur napas.

“Kau dari tadi memegang dada terus? Apakah kau seperti nenekku? Jantungan!?” tanya Erlangga dengan tiba-tiba.

“Ha!? Apa … apa aku … aku terlihat seperti … seperti orang … orang yang … yang sakit jantung?” tanya Dila mencoba untuk tenang.

“Hei santai! Aku hanya bertanya, soalnya sedari tadi kau diam dan memegang dadamu terus. Aku takut kau sedang sakit!” ujarnya tulus.

Perasaan Dila sangat berbunga-bunga. Bagaimana tidak! Orang yang sedari tadi membuat jantungnya berdetak tidak karuan sekarang memberikan perhatian untuknya. Dila ingin sekali berteriak, tetapi ia merasakan mulutnya sedang terkunci dengan sanga-sangat rapat.

“Erlang, ayo kita main bola!” ajak seorang anak perempuan yang sedang berpakaian seragam olahraga yang sama dengan Erlangga.

Kini Dila merasa marah, ia merasa kesal menatap pemandangan dimana tangan Erlangga berada dalam genggaman orang lain.

“Aku ke kelas duluan, yah!” pamit Dila dengan wajah yang kusut.

Pelajaran matematika, pelajaran yang selalu Dila sukai. Otaknya seakan telah terprogram untuk menjadi kalkulator instant ketika ia diperintahkan untuk menyelesaikan beberapa soal. Namun kali ini, ia seakan linglung dan menjadi tidak tahu dalam beberapa detik. Ia bahkan tidak dapat mencerna setiap penjelasan mudah dari gurunya. Hatinya resah dan gelisah, pemikirannya terus terarah pada sosok Erlangga.

Kumpulan Kisah InspiratifOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz