[2]

5.5K 604 120
                                    

Jalan pegununangan yang biasanya sepi kini dilalui banyak mobil, tujuan mereka adalah rumah duka keluarga Hinata. Jepang dibuat heboh dengan meninggalnya salah satu kandidat timnas Voli Jepang bernomor punggung 10 itu. Para kerabat, teman, sahabat dan penggemar voli di seluruh Jepang berduka.

Sosok secerah matahari itu sudah pergi.

Gagak kecil yang menyimpan segudang stamina dan semangat itu kini telah terbang jauh ke langit, tidak akan pernah kembali lagi.

Jasad Hinata Shoyou sudah di kremasi pagi tadi, para pelayat dari kalangan wartawan dan pelatih besar voli pun tidak luput untuk datang memberikan penghormatan terakhir untuknya. Sudah lebih dari tiga jam berlangsung upacara penghormatan di rumah duka, namun hingga kini isak tangis yang ditinggalkan belum juga reda.

Natsu terus memeluk ayahnya, mata anak manis itu bengkak dan merah, berkali-kali bibir ranum itu merapalkan 'nii–chan' di depan foto sang kakak.

Kageyama menatap nanar foto partner mungilnya, air matanya berhenti beberapa saat lalu. Habis mungkin. Usai berdoa dan menyalakan dupa, dia membungkuk pada nyonya dan tuan Hinata.

"Aku turut sedih." Ucapnya dengan bahu bergetar.

Ibu Hinata tersenyum tipis dan menepuk pelan pundak pemuda raven didepannya, "aku dengar kau sering bertengkar dengan Shoyou, maafkan puteraku ya, nak Tobi—"

"Tidak!" potong Kageyama membuat ibunda Hinata terkejut. "Jangan meminta maaf oba–san. Bermain voli bersama Hinata adalah saat yang terbaik untukku, dia menyelamatkanku dari ketidakpercayaan diri atas trauma di masa lalu. Dia sahabat terbaikku, keberadaannya tidak tergantikan. Jadi jangan meminta maaf."

Semua anggota tim, termasuk para alumni klub voli Karasuno tertegun, mereka terdiam kemudian kembali menangis sedih. Benar kata Kageyama. Sosok Hinata benar-benar tidak tergantikan.

×××××

[Aku dimana?]

Desir angin membelai lembut, padang rumput bergoyang memainkan musik gemerisik musim semi. Pria bersurai senja itu berdiri di bawah naungan pohon sakura besar, mata sewarna madu itu menatap takjup hamparan bukit ilalang dan danau berair tenang.

[Aku dimana?]

[Kau di surga.]

Pria senja membalikan tubuh, kepalanya tertoleh kesana-kemari, mencari sosok suara yang menggema di kepalanya.

[Kau siapa?]

[Aku malaikat utusan Tuhan]

Pria senja tertunduk, gurat wajahnya menyiratkan kesedihan.

[Aku sudah mati?]

[Kau sudah mati, kecelakaan, pendarahan otak berat dan hipotermia]

Raut wajah pria senja berubah cemberut.

[Aku tidak perlu rincian sedetail itu malaikat–san]

[Kau juga menyelamatkan seorang nyawa.]

Biner madu melebar, ia teringat sosok gadis manis bersurai mirip sepertinya yang hendak mengakhiri hidupnya di jalan raya.

[Apa dia baik-baik saja? Malaikat–san?]

[Dia tidak pernah baik-baik saja. Dia sudah dibuang ibunya di depan panti asuhan saat masih bayi. Dia diaposi pria bejad yang kemudian mencabulinya di usia sepuluh tahun. Berhasil kabur dari rumah pria itu dan tinggal sendirian, dia malah mendapat perlakuan buruk dari teman-temannya di sekolah.]

Love Sunshine (KageHina Fanfiction)Where stories live. Discover now