PROLOG

21.8K 527 12
                                    

Diujung koridor sana terlihat jelas seorang lelaki tampan dengan mata sipit miliknya baru saja keluar dari sebuah ruangan dengan pintu berwarna soft blue yang bertuliskan 'RUANG OSIS'.

Lelaki dengan rambut yang sedikit menutupi dahinya itu berjalan menyusuri koridor dengan sebuah almameter berwarna turquoise yang sangat pas melekat ditubuh tegapnya. Lelaki tersebut sengaja tidak mengancingkan tiga kancing teratas almameter yang digunakannya sehingga kemeja putih yang digunakannya terlihat dengan jelas dibagian dada bidangnya.

"Ahh, kak Marvel lewat didepan gue. Gila tambah cakep aja itu senior."

"Senyumnya itu lho. Ya Tuhan, gue gak kuat lihatnya."

"Ya Allah, malaikat sekolah ini keluar juga."

"Ehh, ehh kira-kira Marvel masih jomblo gak ya?"

"Gue mau banget jadi pacarnya kalo dia jomblo."

"Enak aja lo, gue kali yang lebih cocok buat Marvel."

Kiranya seperti itulah suara-suara yang terdengar oleh Marvel Arrone Lee, lelaki tampan yang mempunyai mata sipit karena darah Korea yang berasal dari ayahnya. Marvel tidak pernah menanggapi kehisterisan mereka dengan kata-kata, karena selama ini dia menanggapi hanya dengan seulas senyum kecil saja yang justru membuat para gadis tambah histeris dibuatnya.

"Lo jangan senyum gitu kek, jadi tambah berisik kan!"

Marvel menatap kearah samping kirinya, dan terlihatlah seorang lelaki yang memakai almameter sama dengannya. Marvel kali ini memang tidak berjalan sendiri, melainkan ada kedua sahabat sekaligus rekannya dalam OSIS. "Daniel, apanya yang salah dari senyum. Dalam agama gue, senyum itu adalah ibadah." Ujar Marvel dengan menatap lurus kedepannya kembali. Lelaki itu juga sempat membenarkan almameter yang dikenakannya dengan menarik kedua sisi almameter tersebut.

Daniel Manuela hanya mendengus kecil dengan kedua telapak tangannya yang dia masukan kedalam saku yang ada dialmameternya. "Kalo itu gue tau, gue juga paham. Tapi apa lo mau tanggung jawab kalo misal banyak bocah yang baper sama senyum lo itu?"

"Yang penting gue gak lakuin hal lebih dari senyum doang."

Daniel berdecak. Rasanya sudah sampai lupa kapan pertama kali Daniel mengatakn hal semacam ini karena yang dilakukan oleh Marvel tetaplah sama, sama-sama murah senyum kesemuanya.

Lelaki yang berada dilain sisi Marvel hanya terdiam fokus dengan langkahnya tersebut tanpa mau terlibat didalam berdebatan yang sudah sering dia dengar dari kedua sahabatnya.

Daniel berjalan kelain sisi untuk mendekati sahabat yang sejak tadi hanya diam saja. Setelah tepat disamping lelaki itu, Daniel merangkul bahunya. "Rizky, menurut lo omongan gue bener kan?"

Rizky Pratama, lelaki itu menengok kearah Daniel dengan sebelah alisnya yang terangkat. "Rasanya gue bosen dengerin pembahasan ini terus."

"Tuh kan, Rizky aja bosen dengernya apalagi gue." Daniel menatap Marvel yang terfokus kejalan yang dilaluinya.

"Lo yang memploporinya, Dan!" Rizky kembali berucap dengan memutar bola matanya malas. "Mending pending dulu kalo mau bahas ini, anak-anak udah nunggu kita di aula." Lanjutnya lagi yang mendapat decakan kesal dari Daniel sedangkan Marvel tersenyum kecil tanpa menatap kedua sahabatnya.

•••••

Angin pagi berhembus berlawanan dengan arah lari seorang gadis yang masih memakai seragam biru putihnya tersebut membuat rambut yang sengaja digerainya melambai-lambai seiring dengan kecepatan larinya.

Gadis itu berhenti berlari dengan kedua tangan mungilnya memegang lututnya yang terasa sangat pegal. Peluh keringat juga sudah terasa membanjiri seragam yang digunakannya, membuat seragam yang baru saja disetrika itu mulai berbentuk tidak beraturan.

Dia benci lari, dan kini dirinya harus terpaksa berlari dari gerbang sekolah barunya sampai ditempatnya sekarang berdiri, berdiri ditengah lapangan luas dengan tiang bendera disamping sana. Jika bukan karena ini hari pertama MOS nya maka gadis itu tidak akan sudi berlari seperti ini.

Gadis dengan poni yang menutupi dahinya itu menegakan tubuhnya kembali dan matanya melirik kesebuah jam tangan warna putih yang melingkar dipergelangan tangan kirinya. Waktu sudah menunjukan pukul enam lebih lima puluh lima pagi, dan MOS diadakan pukul tujuh tepat. Dia berdecak kesal, karena sudah hampir terlambat tapi tidak tahu dimana aula ada dimana.

"MEIRA!"

Meira menengokan kepalanya sembilan puluh derajat. Disebuah koridor sana dia dapat melihat sahabat sejak SMP nya tengah berdiri dengan seorang gadis yang tidak dikenalinya.

Syaqia Sabilla, sahabat Meira itu berlari kearahnya dengan seorang gadis yang tadi bersamanya.

"Lo dari mana aja, gue telponin gak diangkat? Gue kira lo gak masuk tau."

Meira tersenyum kecil menyadari jika ponselnya dia taruh didalam tas. "Ponsel gue di dalam tas. Gue sama kak Gita telat bangun jadi gini." Ujarnya mengingat tadi pagi dia dan kakak perempuannya yang telat bangun karena lupa tidak memasang alarem. "Em, cewek disamping lo siapa?" Lanjut Meira dengan menunjuk gadis disamping Qia.

"Gue Angela Christy." Gadis bernama Angel ini mengulurkan tangannya kearah Meira yang disambut baik oleh Meira.

"Meira Adeliza."

"Dia temen baru gue, kenal tadi di aula." Qia menimpali.

"Jadi kalian udah ke aula?"

"Udah lah."

"Mampus." Meira menepuk dahinya sendiri dan segera berlari meninggalkan Qia dan Angel yang tengah menatapnya bingung. Dia baru ingat jika dia akan telat jika tidak segera kesana.

Meira berhenti berlari, dan segera membalikan badannya menatap Qia dan Angel. "Eh, aulanya dimana?"

•••••

Cerita abstrak kelima yang aku buat, wkwkwk 😂 padahal lapak sebelah juga belum tamat 🙈. Tapi gimana lagi yah tangan aku rasanya gatal kalo gak publish cerita ini, rasanya tuh nyesek-nyesek gimana gitu lebih nyesek dari ditinggal doi pas lagi sayang-sayangnya, ihirrr tarik mang 💃💃💃

Udah gitu dulu, prolognya cuma gitu doang 🙆👼. Votenya buat cerita baru ini 😌😳

Selvimeliana 😘

MarvelMeira [END]Where stories live. Discover now