Chapter 3

180 10 0
                                    


 Kepada putraku.

Ibu telah menerima suratmu. Ibu senang mendengar kabarmu baik-baik saja. Maaf jika membuatmu khawatir beberapa hari belakangan ini. Tapi berkatmu, ibu tetap sehat hingga sekarang. Di saat kamu tak lagi sibuk, berkunjunglah ke kediaman ibu. Akan ibu sambut dengan hangat.

Putraku tersayang, ibu tahu bahwa semua hal yang engkau lakukan ini demi ibu dan semua orang. Tapi kamu harus tetap tahu batasan-batasan dimana engkau harus berjuang. Pikirkan juga keselamatanmu sendiri. Ibu akan selalu mendoakan kebahagiaan dan kesejahteraanmu dari sini.

Ibu menantikan balasan suratmu selanjutnya. Jaga dirimu, anakku.

_Dari yang terkasih,

Marinna Angelica.

----

Deretan-deretan kata yang tertera di kertas putih yang ia pegang dibacanya dengan seksama. Tulisan tangan yang begitu indah, serta perasaan rindu yang ikut menyeruak di dalam dada membuatnya betah untuk membaca surat itu berulang kali. Helaan nafas panjang mengiringi akhir kata dari surat tersebut yang ia baca di dalam hati. Setelah meletakkan kembali surat dari ibunya ke dalam laci meja, ia memijit pelipisnya yang terasa sakit.

Orfeo menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi dan melemaskan otot-otot bahunya. Beristirahat sejenak di bawah sinar bulan purnama yang menyelimuti seisi ruangan kamarnya adalah hal yang paling ia sukai. Keheningan panjang menjadi teman dikala pemuda itu larut dalam pikirannya. Niat hatinya yang tadi ingin tertidur sejenak ia urungkan seketika saat ia melihat ke jam saku di tangan. Detik demi detik terus berlalu tanpa ia sadari. Dan Orfeo tahu, ia tak boleh menyiakan sedetikpun bahkan ketika kantuk mulai menyerang. Setelah ia merasa cukup beristirahat, pemuda itu segera bangkit dan keluar dari kamarnya yang sepi.

Penampakan bulan purnama yang begitu jelas dapat ia lihat dari jendela-jendela di koridor. Mengiringi setiap langkahnya menuju lantai bawah di mana seseorang telah menunggu pemuda tersebut. Suasana begitu hening hampir di tiap ruangan, bagai tak ada penghuni lain selain dirinya. Meski begitu, nyatanya semua pelayan dan penjaga sedang sibuk pada urusan mereka masing-masing. Orfeo tak ingin menghabiskan waktu dan terus berjalan hingga pintu depan.

Karena malam ini, ia tak boleh bersantai sedikitpun.

Tepat setelah ia keluar, sebuah kereta kerajaan telah menunggu kedatangannya. Seorang pria bertubuh tinggi langsung membukakan pintu kereta sembari membungkukkan sedikit badan, mempersilahkan Orfeo untuk masuk. Kemudian ia menutup pintu, dan mendudukkan diri di kursi seberang Orfeo.

Pria yang mengenakan setelan khusus yang berbeda dari pasukan-pasukan kerajaan itu tampak begitu tenang. Orfeo di hadapannya, mengalihkan pandangan dari pria tersebut ke jendela kereta seiring kereta bergerak membawa mereka ke suatu tempat. Tak ada satupun dari mereka yang buka suara setelah beberapa menit berlalu. Bahkan di dalam kereta sekalipun, ketegangan itu tak juga sirna. Ada sesuatu yang cukup menganggunya yang membuatnya tak ingin berbicara seharian.

"Frezel, bagaimana dengan hari ini?"

"Kasus yang dilaporkan oleh pasukan kita sejam yang lalu jumlahnya lebih banyak dari bulan kemarin, Yang Mulia. Tampaknya pasukan kita sendiri sedikit kewalahan menghadapi mereka."

"Sialan..." Orfeo menggerutu kesal. Tangannya ia kepalkan kuat-kuat demi menahan emosi. "Apa ada korban jiwa?"

"Belum, Yang Mulia. Sejauh ini masyarakat terpantau aman. Mereka hanya muncul di tempat-tempat sepi." Frezel menggelengkan kepalanya pelan. Berusaha bersikap tenang di hadapan Tuannya.

Deep Sea MermaidWhere stories live. Discover now